Pendongeng

38 20 92
                                    

Raina

Hari senin. Hari yang paling aku benci. Karena setiap hari senin, semua siswa harus rela berjemur di lapangan untuk melakukan upacara bendera.

Bukan upacara benderanya yang aku benci. Melainkan sinar terik matahari yang menyengat lah yang membuatku tidak betah dan ingin cepat-cepat kembali ke kelas.

Tepat sebelum upacara bendera selesai, pandangan mataku beralih menatap ke arah sesosok laki-laki yang berdiri di bawah pohon. Laki-laki dengan sebuah bandana yang terikat rapi di bagian lengannya itu adalah Calvin.

Calvin tidak ikut barisan siswa karena hari ini Calvin bertugas sebagai petugas PMR. Yang artinya Calvin bisa bersantai di bawah rindangnya pohon sambil bersiap-siap jika ada salah satu siswa yang membutuhkan pertolongan.

Aku sedikit iri dengan Calvin. Tetapi aku juga sadar, kalau tidak mungkin bagiku yang selalu malas ini menjadi bagian dari PMR.

Tepat setelah upacara bendera selesai, Calvin langsung berlari ke arahku. Menyodorkan sebuah botol air mineral dan menyuruhku untuk meminum air mineral yang ada di dalam botol itu.

Mungkin bagi orang lain, hal seperti ini adalah hal yang istimewa dan hanya bisa dilakukan oleh dua orang yang mempunyai ikatan khusus. Tetapi bagi kita berdua tidak. Karena hal seperti ini adalah hal yang biasa bagiku dengan Calvin. 

"Habis ini kamu balik ke kelas, 'kan?" tanyaku setelah meminum sedikit air mineral yang diberikan oleh Calvin.

"Iya, lah. Kan habis ini ada mata pelajaran," jawab Calvin sambil merebut botol yang ada di dalam genggaman tanganku.

"Kalau begitu sekalian."

"Sekalian apa?"

"Sekalian gendong aku ke kelas."

"Lo punya kaki. Jadi jalan sendiri. Jangan manja."

"Bukannya manja, Vin. Tadi aku kelamaan berdiri. Jadi kaki aku mati rasa. Ini aja aku enggak bisa gerakin kaki aku."

Sebuah kebohongan yang sia-sia. Karena mau sepintar apa pun aku berbohong, pasti Calvin bisa menemukan kebenarannya hanya dalam sekejap mata.

Tetapi mau bagaimana mana pun, Calvin tetaplah Calvin. Mau sebodoh apa pun aku berbohong saat meminta sesuatu, pasti Calvin akan menuruti permintaanku tanpa harus berpikir panjang.

Seperti sekarang, Calvin tiba-tiba mengangkat tubuhku. Mengendong tubuhku dengan gaya bridal style. Lalu berjalan dengan santainya melewati para siswa-siswi yang masih berdesak-desakan di tengah lapangan upacara.

Tentu saja tindakan kami langsung menjadi pusat perhatian. Ada beberapa orang yang menatap kami dengan tatapan tajam. Dan ada beberapa orang yang sepertinya menatap dengan perasaan iri. Tetapi kami tidak menghiraukan semua itu.

Sesampainya di kelas, Calvin secara perlahan mulai menurunkan tubuhku di atas kursi dudukku. Dan saat tubuhku sudah mendarat tepat di atas kursi, Calvin melangkah satu langkah ke belakang, memberikan sebuah jarak kecil antara dirinya dengan diriku.

"Gua nanti pas istirahat pertama mau ke perpustakaan. Lo diam di sini aja. Jangan gerak sedikit pun. Bisa repot kalau tiba-tiba lo kehabisan tenaga di tempat lain," cetus Calvin sambil duduk di kursi yang ada di sampingku.

"Ikut. Masa aku sendirian di sini," balasku dengan tatapan penuh harapan.

"Jangan aneh-aneh. Lo tuh kalau berhadapan sama buku pasti bakalan langsung tidur. Jadi lebih baik lo di sini, makan bekal lo. Dan tunggu aja sampai jam masuk."

"Apa masalahnya kalau aku tidur di perpustakaan?"

Calvin terdiam. Aku yakin laki-laki itu tidak mempunyai alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaanku tadi. Ya sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan buku atau pun perpustakaan. Tetapi menurutku lebih baik berada di perpustakaan daripada harus menunggu Calvin di dalam kelas yang isinya adalah para siswa-siswi yang belum begitu akrab denganku.

Hujan dan PeluknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang