Hancur Harga Diri

20 11 56
                                    

Athena

Aku menatap tim bola voli putra yang sedang berlatih. Tim bola voli putra ini berbeda dengan tim yang aku lawan saat ada Dalfon. Karena tim bola voli putra yang kali ini adalah tim inti. Tim yang memang disiapkan untuk memenangkan berbagai lomba tingkat atas. Yang artinya kualitas para pemain-pemainnya sudah tidak bisa diragukan lagi.

Dari segala banyaknya pemain. Perhatianku tertuju pada seorang yang bertugas menjadi ace spiker. Smash yang dihasilkan oleh laki-laki sangatlah keras dan mematikan. Bahkan beberapa kali, pernah menghempaskan tanda para blocker musuh.

Laki-laki itu adalah Gracia Elvaro Raffael. Kakak dari seorang Alvaro, sekaligus kembarannya. Berbeda dengan Alvaro yang bermain bola voli hanya untuk bersenang-senang, Elvaro bermain karena ingin mencapai titik puncak. Memenangkan kejuaraan nasional. Dan hal itulah yang membuat Elvaro begitu serius dalam bermain bola voli.

Kurang lebih laki-laki sama sepertiku. Mempunyai mimpi yang sama. Tetapi sayangnya dengan kondisi yang berbeda. Laki-laki itu mendapatkan dukungan penuh oleh kedua orang tuanya untuk bermain voli. Sedangkan aku harus mengikuti perjodohan bodoh hanya untuk bisa bermain voli.

Latihan mereka dihentikan sebentar. Memberikan waktu istirahat pada para pemain yang sudah hampir kehabisan stamina mereka.

Para pemain datang ke arah tempat duduk untuk meminum minuman yang sudah disiapkan oleh para pengurus klub bola voli putra.

Elvaro juga begitu. Bedanya setelah ia mengambil botol minum, ia tidak duduk bersama para pemain yang lainnya. Tetapi malah jalan ke arahku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin laki-laki itu bicarakan denganku.

"Gua denger kemarin ada orang yang ngalahin tim putri. Bagaimana orangnya?" tanya Elvaro saat sudah berada tepat di depanku.

"Kami kalah bukan karena dia hebat. Tapi karena kami tidak waspada," jawabku sambil mengalihkan pandanganku.

"Sama aja, Bodoh! Jadi, siapa orang yang buat kalian kewalahan? Apa dia salah satu dari murid sekolah ini?"

"Tidak. Dia dari sekolah lain. Calvin namanya," sahut seorang perempuan dari pintu gedung olahraga.

Pandanganku menatap ke arah perempuan itu. Serena. Perempuan datang pada waktu yang kurang tepat. Sebenarnya aku ingin menutup tentang kejadian kemarin. Supaya tidak terjadi masalah yang lebih besar. Tetapi sepertinya perempuan itu memiliki pendapat yang berbeda denganku.

"Dari sekolah lain? Bagaimana bisa dia masuk ke sini?" tanya Elvaro kebingungan.

"Dia pacar gua. Karena kemarin tim cadangan kekurangan orang, gua suruh dia masuk," jawabku.

"Tapi, ya, servis dan smash dia tidak bisa diragukan. Dari sekitar sepuluh servis yang mengarah ke gua, cuma dua atau tiga bola yang bisa gua tahan dengan sempurna. Dan kemampuannya sebagai setter jauh di atas setter yang sekolah kita punya. Kalau bisa dibilang, mungkin tingkatannya sudah tingkat nasional," sahut Serena sambil berjalan mendekat.

"Apa lo bodoh? Dia sudah jelas-jelas bilang kalau dia belum pernah main. Jadi mana mungkin tingkatannya setinggi itu?" tanyaku meremehkan kemampuan Calvin.

"Bukannya lo yang bodoh? Serena, dia libero terhebat yang pernah ada. Bahkan dia masuk ke dalam urutan Libero Elite yang ada di kota ini. Kalau memang smash dan servis pacar lo bisa buat si Serena kerepotan, bukannya sudah jelas kalau pacar lo itu hebat?" tanya Elvaro.

"Gua rasa kemenangannya bukan cuma keberuntungan. Kemarin gua ingat jelas kalau poin mereka tertinggal jauh. Lebih dari sepuluh poin. Tapi akhirnya mereka bisa menang dengan poin tiga puluh. Dan lebih gilanya lagi, pacar lo adalah orang yang mencetak poin terbanyak kemarin," ujar Serena sambil menatap ke arahku.

Hujan dan PeluknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang