Perpisahan Sementara

22 12 64
                                    

Dengan tatapan kosong, aku menatap seorang laki-laki yang berdiri dekat mobil berwarna biru. Untuk beberapa hari ke depan, aku akan berpisah dengan sahabatku itu. Aku tidak tau bagaimanakah jadinya aku tanpanya di sisiku. Karena selama ini, sahabatku itu yang selalu membantu dan memberikanku dukungan.

Sekarang aku harus pergi ke luar negeri bersama kedua orang tuaku dan pembantu rumah tanggaku untuk berlibur beberapa hari di sana. Sangat disayangkan karena sampai hari ini, sahabatku itu tidak bisa ikut dalam liburan kali ini.

Tetapi aku rasa tidak apa-apa. Karena cepat atau lambat, aku pasti akan bertemu kembali dengannya. Dan saat pertemuan kami selanjutnya, aku yakin sahabatku itu akan lebih bisa diandalkan.

"Vin, makasih, ya. Udah mau antar kami. Dan jaga diri kamu baik-baik, selama kami nggak ada di negeri ini," ujar Ayah sambil menepuk bahu Calvin.

Calvin mengangguk pelan. Hari ini Calvin bersedia mengantar kami ke bandara. Dengan alasan arah ke bandara dengan arah tempat toko roti tempat kerjanya yang akan ia jaga untuk beberapa minggu ke depan ini searah.

"Uang bensinnya sudah kamu kasih ke Calvin, 'kan?" tanya Bunda sambil menatapku.

"Sudah kok, Bun," jawabku sambil menatap Bunda.

"Tumben dia mau nerima."

"Entah."

Aku sendiri sebenarnya juga sedikit kaget saat Calvin mau menerima uang bensin yang aku berikan tadi pagi. Pasalnya sejak kemarin, Calvin selalu mengatakan bahwa dia yang akan membiayai mobil biru milik Bunda selama mobil itu dia gunakan.

"Ya udah. Kalau begitu, kami masuk ke dalam dulu. Mau nunggu di ruang tunggu," ujar Ayah kepada Calvin.

"Calvin bisa minta waktu buat bicara sama Rara sebentar, Om?" tanya Calvin sambil mengalihkan pandangannya ke arahku.

Aku melihat Ayah dan Bunda saling menatap saat mendengar pertanyaan Calvin barusan.

Pertanyaan bodoh. Mungkin itu yang terlintas di kepala Ayah dan Bunda saat mendengar pertanyaan itu. Pasalnya selama Calvin menjadi sahabatku, Calvin boleh bicara kapan saja tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada Ayah dan Bunda.

"Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kalau ketinggalan pesawat bisa gawat," ujar Ayah.

Ayah, Bunda, dan Bibi langsung pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan Calvin yang masih diam di dekat mobil.

Aku bingung. Pasalnya baru kali ini, Calvin meminta waktu khusus untuk berbicara denganku.

"Mau bicara apa?" tanyaku penasaran.

"Enggak ada, sih. Cuma mau puas-puasin lihat wajah lo sebelum lo berangkat ke luar negeri," jawabnya dengan santainya.

"Cuma itu doang?"

"Ya, cuma itu doang."

Kami kembali terdiam. Calvin masih dalam sikap santainya sambil menatap ke arahku. Sedangkan aku juga hanya diam sambil menunggu Calvin membuka topik pembicaraan lagi.

"Apa lo tadi nggak sisiran?" tanya Calvin.

"Sisiran, lah. Bibi yang nyisirin," jawabku.

"Tapi itu rambut lo masih ada yang berantakan."

"Masa? Mana?"

Aku mendekat ke arah mobil. Melihat pantulan bayangan ku di kaca spion mobil. Tetapi anehnya, aku sama sekali tidak melihat ada yang berantakan.

"Bagian belakang bodoh. Coba lo putar balik," ujar Calvin sambil memutar balikkan badanku.

"Bagian belakang? Kalau memang bagian belakang kenapa kamu bisa lihat? Kan tadi aku hadap-hadapan sama kamu," tanyaku kebingungan.

Hujan dan PeluknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang