Ketakutan

29 15 143
                                    

Raina

Langkahku terhenti saat berpapasan dengan seorang laki-laki yang sedang membawa beberapa tumpukan buku di koridor sekolah. Aku tersenyum kecil, karena menyadari bahwa selama kami tidak saling berbicara, kesukaan laki-laki itu terhadap buku belum berubah.

Tatapanku beralih menatap manik mata sahabatku itu. Tatapannya masih sayu seperti biasa. Aku masih tidak bisa merasakan apa pun dari tatapannya. Membuatku semakin yakin kalau laki-laki itu belum berubah sama sekali semenjak terakhir kali kami berbicara.

"Vin," ucapku menyebutkan sepenggal namanya.

"Pegangin buku gua dulu. Ponsel gua bergetar," ujar Calvin sambil menyerahkan tumpukan bukunya padaku.

Berat. Itulah yang aku rasakan saat pertama kali menerima tumpukan buku itu. Aku sangat bingung, kenapa sahabatku itu bisa bersikap sangat santai saat membawa tumpukan buku seberat itu? Apakah sahabatku itu mempunyai tenaga gajah? Atau malah memang keturunan gajah?

Karena aku tidak mau membuang tenagaku untuk hal yang nggak perlu, aku menaruh buku itu di lantai. Setelah itu kembali menatap Calvin yang masih sibuk dengan ponsel miliknya.

Aku sama sekali tidak bisa menebak apa yang sedang Calvin lihat di ponselnya. Karena wajah Calvin sama sekali tidak menampilkan ekspresi apa pun.

"Vin," ucapku sekali lagi.

"Kenapa, Ra? Bentar, gua lagi balas pesan," balasnya tanpa melihat ke arahku.

"Aku minta maaf."

"Minta maaf? Untuk apa?"

"Entah, gua juga nggak tau. Tapi katanya bunda kalau ketemu kamu, aku harus minta maaf."

"Kamu merasa ngelakuin kesalahan enggak?"

"Kalau aku secara pribadi sih enggak. Tapi katanya bunda aku tanpa sengaja ngelukain hati kamu. Jadi maaf."

"Bodoh. Kalau lo ngerasa nggak ngelakuin kesalahan, ya jangan minta maaf. Lagi pula, gua orangnya kuat. Jadi mana mungkin hati gua terluka hanya karena lo."

Calvin menepuk kepalaku berkali-kali. Aku sedikit kesal, karena tepukan Calvin membuat rambutku berantakan. Tetapi di satu sisi lain, aku juga bahagia karena Calvin telah kembali seperti yang dulu.

"Lo pulang sekolah mau jalan-jalan dulu sebentar nggak?" tanya Calvin sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku baju sekolahnya.

"Jalan-jalan ke mana?" tanyaku penasaran.

"Gua ada urusan di kota sebelah untuk nganter pesanan roti. Ya anggap aja sekalian cari angin penyejuk. Gimana?"

"Enggak mau, ah. Panas. Kamu kan nggak bawa mobil aku."

"Emang lo tadi ke sini naik apa? Emang nggak bawa mobil?"

"Enggak. Aku tadi berangkat sekolah pakai taksi."

"Oh. Ya, udah. Berarti nanti pulangnya bareng gua. Setelah gua nganter lo pulang, gua baru berangkat nganter pesanan roti."

"Emang nggak repot? Kenapa nggak langsung antar roti aja? Biar nanti aku pulang pakai taksi lagi."

"Lebih repot lagi kalau nanti lo nggak dapat taksi terus nunggu di depan sekolah sampai malam."

"Iya juga, ya."

Calvin mengambil kembali tumpukan buku-buku yang tadi aku taruh lantai. Aku masih menatap wajah sahabatku secara saksama. Masih sama, laki-laki itu masih tidak menampilkan ekspresi apa pun.

"Gua mau ke perpustakaan buat balikin ini buku. Mau ikut enggak?" tanya Calvin sambil melirik ke arahku.

"Ikut, deh. Daripada nggak ada temen di kelas," jawabku sambil berdiri di samping Calvin.

Hujan dan PeluknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang