Aku menatap Bunda secara saksama. Karena sangat jarang sekali Bunda menggunakan pakaian bagus saat malam hari seperti sekarang. Membuatku menduga-duga bahwa Bunda akan pergi keluar malam ini dan meninggalkanku sendirian di rumah. Tetapi kalau memang Bunda ingin pergi, kenapa Bunda tidak merias wajahnya?
Pandanganku masih mengikuti pergerakan Bunda. Mulai dari Bunda yang tadi sibuk sendiri di ruang tamu sampai Bunda yang sekarang sedang minum di dekat kulkas.
"Awas mata kamu copot kalau kamu kelamaan melotot," ujar Bunda sambil menutup pintu kulkas.
"Bunda mau ke mana?" tanyaku sambil memeluk bantal sofa.
"Bunda? Bunda nggak ke mana-mana. Kan malam ini malam terakhir Bunda di kota ini. Jadi Bunda mau habisin waktu sama kamu di rumah."
Aku baru ingat kalau besok pagi-pagi, Bunda harus keluar kota untuk melanjutkan pekerjaannya bersama ayah. Yang artinya aku akan sendirian lagi di rumah sebesar ini.
"Kalau nggak pergi keluar, kenapa Bunda pakai baju bagus?" tanyaku sambil menatap baju yang dikenakan oleh Bunda.
"Baju? Oh baju ini, baju ini dikasih sama Alvin. Baru tadi pagi baju ini dianter sama Alvin. Jadi Bunda mau coba dulu. Kalau memang cocok, nanti Bunda mau pamerin ke ayah. Gimana? Cocok enggak Bunda pakai baju ini?" jawab Bunda diakhiri dengan sebuah pertanyaan.
"Alvin ngasih Bunda baju? Untuk apa? Kesambet apa tuh anak?"
"Lah, mana Bunda tau. Kan dia sahabat kamu. Jadi harusnya kamu yang tau alasan dia ngasih Bunda baju ini. Eh, ngomong-ngomong. Gimana baju ini? Cocok enggak?"
"Cocok, Bun. Lebih cocok lagi kalau baju itu dikasih ke Rara."
"Yee. Main minta aja. Orang jelas-jelas Alvin beliin ini untuk Bunda. Bukan untuk kamu."
Bunda berjalan ke arah lantai atas dengan ekspresi bahagia. Dan aku pun merasa wajar atas kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh bunda. Tetapi ada sesuatu yang menurutku tidak wajar. Calvin memberikan bunda baju? Ditambah lagi, dari penampilannya baju itu bukanlah baju yang bisa dikatakan murah. Bukankah itu adalah hal yang aneh? Ini Calvin loh. Seorang laki-laki yang selalu berpikir lima kali sebelum mengeluarkan uangnya. Tetapi kenapa sekarang laki-laki itu membelikan baju mahal untuk bunda? Apakah ada yang salah dengan otak sahabatku itu?
Karena penasaran aku pun mencoba untuk menghubungi sahabatku itu melalui telepon. Sambungan pertama gagal, aku rasa sahabatku itu sedang sibuk di toko roti. Jadi tidak sempat mengecek ponselnya yang selalu ia simpan di ruangan pegawai setiap ia bekerja.
Aku tunggu sekitar lima belas menit dan mencoba untuk menghubunginya lagi. Dan ternyata berhasil. Panggilan teleponnya tersambung.
"Halo, Vin. Lagi sibuk?" tanyaku saat ponselku sudah ada di dekat daun telingaku.
"Enggak juga. Kenapa emang?" jawab Calvin dari seberang.
"Kamu beliin bunda baju?"
"Baju? Baju yang mana?"
"Alah, baju warna putih. Tadi bunda bilang baju itu dari kamu."
"Oh, baju itu. Baju itu memang gua yang ngantar. Tapi yang beliin om Kevin. Gua kemarin disuruh om Kevin buat datang ke toko baju langganannya buat ngambil baju itu. Kata om Kevin itu baju untuk bunda. Jadi tadi pagi gua serahin, deh."
"Oh, dari ayah. Pantas aja. Lagian mana mungkin kamu mau ngeluarin uang cuma untuk baju mewah."
"Eits. Jaga mulut lo. Gini-gini gua juga rela ngabisin uang buat orang yang gua sayang."
"Masa?"
"Enggak juga, sih. Ya udahlah. Gua matiin sambungan teleponnya. Gua mau balik kerja."
"Iya-iya. Yang paling sibuk. Semangat kerjanya. Jangan lupa istirahat. Bisa repot kalau kamu mati cuma gara-gara kecapekan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan dan Peluknya
Fiksi RemajaSeandainya Raina tau waktu mereka bersama sangatlah sesingkat itu, pasti Raina akan menikmati waktunya bersama Calvin dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, sehingga otaknya penuh dengan kenangan-kenangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan s...