Mataku mulai terbuka lebar. Tidurku tadi malam tidak terlalu nyenyak. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa tidak nyaman saat sedang tidur. Aku sendiri pun tidak tau alasan tepatnya. Tetapi yang pasti, aku tidak ingin merasakan hal itu lagi. Aku ingin tidur dengan nyenyak.
Mataku memandang ke seluruh penjuru kamarku dan akhirnya berakhir di meja belajar. Saat aku melihat buku novel yang tergeletak di atas meja belajar, aku merasakan ada yang kurang. Ada sesuatu yang menghilang dan aku sendiri pun belum tau sesuatu apa yang telah menghilang.
Aku mengenakan sandalku yang tersimpan di bawah kasur. Kalau biasanya aku langsung mandi setelah bangun tidur, entah kenapa kali ini aku ingin makan terlebih dahulu.
Aku melangkahkan kakiku secara perlahan menuruni anak tangga. Pandanganku tertuju pada ruang tamu. Tidak ada yang berbeda. Tidak ada yang berubah. Tetapi entah kenapa, aku merasa ada yang kurang.
Pandanganku beralih menatap ke arah meja makan. Aku melihat ada Rika yang sedang menatap lauk di meja makan. Karena kondisinya Rika membelakangiku, aku jadi tidak bisa melihat apa yang telah dimasak Rika. Ketidaktahuanku itu membuatku ingin bertanya.
"Vin," ujarku secara spontan.
Langkahku langsung terhenti. Mulutku langsung bungkam. Mataku membulat sempurna. Ada yang salah. Aku ingat betul tadi aku ingin bertanya tentang lauk apa yang dimasak oleh Rika hari ini. Tetapi entah kenapa, mulutku menyebutkan hal lain. Vin. Nama itu tiba-tiba muncul dari mulutku begitu saja.
Di saat itu juga, aku tau apa yang hilang dari rumahku. Calvin yang biasanya selalu duduk di meja belajar sambil membaca novelku tidak ada. Calvin yang biasanya bersantai di ruang tamu sambil menonton televisi juga tidak. Calvin tidak datang.
Aku tersenyum kecil saat mengingat kejadian kemarin. Aku baru sadar bahwa kemarin aku telah melakukan hal yang bodoh. Di dunia ini tidak ada perempuan yang ingin laki-lakinya bersama dengan perempuan lain. Begitu juga Laura. Jadi kalau memang Calvin mengikuti perkataanku kemarin dan kembali menjalin hubungan bersama Laura, maka wajar saja kalau Calvin tidak akan kembali ke rumahku lagi.
Aku benci ini. Aku benci sikap Calvin yang selalu mengabulkan seluruh keinginan. Aku benci Calvin yang bodoh. Calvin tau kalau aku tidak suka sendiri. Tetapi kenapa sekarang malah laki-laki itu meninggalkanku sendiri?
"Dek Raina? Kenapa kamu bengong?" tanya Bi Rika membuat semua lamunanku langsung buyar.
"Nggak kenapa-kenapa, kok, Bi. Cuma keinget kalau ada tugas yang belum dikerjakan," jawabku sambil kembali melangkahkan kakiku menuruni tangga.
"Bukannya kemarin nak Calvin ke sini buat bantu kamu ngerjain tugas?"
"Iya. Tapi belum sampai tugasnya selesai, dia pergi. Soalnya dia harus jaga toko roti."
Kebohongan. Aku telah berbohong. Aku tidak bisa membiarkan siapa pun tau kalau Calvin pergi karena kebodohanku. Aku tidak mau ada orang lain yang tau bahwa Calvin telah pergi dari sisiku.
"Tadi ada telepon dari nyonya. Katanya nanti malam nyonya akan kembali," ujar Bi Rika sambil menaruh sebuah piring di atas meja makan.
"Bunda pulang? Kenapa? Apa ada dokumen yang ketinggalan?" tanyaku sambil duduk di kursi meja makan.
"Sepertinya nak Calvin yang menyuruh nyonya untuk pulang. Kemarin sebelum nak Calvin pulang, Bibi lihat Calvin sedang menelepon nyonya. Dan bicara tentang hari ini."
"Calvin, ya. Sepertinya dia sudah mempersiapkan segalanya."
"Bibi boleh nanya sesuatu nggak?"
"Boleh, Bi. Tanya aja. Selama pertanyaannya nggak sulit, pasti Raina jawab."
"Apa kemarin Dek Raina berantem sama Nak Calvin? Soalnya kemarin saat Calvin ke luar dari kamar Dek Raina, raut wajah Calvin kelihatan sedih."
Aku terdiam. Bertengkar dengan Calvin? Tentu saja itu adalah yang tidak mungkin. Pembicaraan kemarin adalah pembicaraan yang dasar. Seharusnya tidak memunculkan sebuah perdebatan atau pun pertengkaran. Dan aku yakin Calvin berpikiran tentang hal yang sama. Sahabatku itu memang tidak terlalu pintar dalam pelajaran sekolah. Tetapi sahabatku orang yang paling pintar dalam memahami kondisi sekitarnya.
"Enggak, kok, Bi. Calvin kemarin cuma sedikit kurang enak badan aja. Makanya dia kayak begitu," jawabku diakhiri dengan sebuah senyuman tipis.
"Bagus, deh. Soalnya nak Calvin tuh orang baik. Jarang-jarang banget loh ada anak laki-laki seperti dia. Ditambah lagi, dia sudah sangat dipercaya sama nyonya dan tuan untuk menjaga kamu. Jadi jangan sampai kalian bertengkar," ujar Bi Rika.
"Bi Rika tau dari mana kalau Calvin orang baik? Kan Bi Rika jarang bicara sama dia."
"Bi Rika bisa tau kalau Calvin adalah orang baik dari cara dia memperlakukan kamu. Kalian cuma sebatas sahabat, 'kan? Jarang-jarang banget, lho ada seorang laki-laki yang memperlakukan seorang perempuan seperti ratu. Ditambah lagi, tatapan dia ke kamu itu terasa sangat hangat. Seakan menandakan kalau semua tindakannya itu selalu tertuju pada kamu."
Kalau Bi Rika saja sudah berbicara seperti itu, maka kenyataan bahwa Calvin adalah orang istimewa tidak bisa diragukan lagi. Tidak ada satu orang pun yang bisa mengantikan posisi Calvin. Kalau pun ada, belum tentu orang itu bisa memberikan rasa nyaman seperti rasa nyaman yang diberikan Calvin kepadaku.
"Bibi dengar sebelum ada Bibi, Nak Calvin yang mengurus rumah ini. Mulai dari bersih-bersih sampai masak. Apa Calvin dibayar untuk itu semua?" tanya Bi Rika.
"Enggak. Eh, tapi bunda sama ayah mau bayar Calvin. Cuma Calvin menolak keras. Dengan alasan kalau dia mengambil uang itu berarti sosok Calvin di rumah ini sebagai pembantu bukan sahabat Raina. Dan Calvin tidak suka itu. Ya untuk menghargai kemauan Calvin, ayah sama bunda pun mau nggak mau menuruti kemauan Calvin," jawabku panjang lebar.
"Dia laki-laki yang aneh, ya. Padahal uangnya lumayan untuk dia jajan di sekolah."
"Kalau soal uang jajan, dia kerja paruh waktu di toko roti. Ya gajinya memang nggak terlalu besar, tapi katanya cukup untuk kehidupan sehari-harinya."
"Dia kerja paruh waktu? Tapi bukannya selama ini dia ngejaga kamu?"
"Gini nih ceritanya, Bi. Dulu sebelum Calvin ketemu sama Raina, Calvin udah lebih dulu kerja paruh waktu di toko roti itu. Nah setelah bertemu Raina, Calvin mutusin untuk berhenti sementara dari pekerjaannya. Dan sampai pada akhirnya, ayah sama bunda bilang kalau mau cari pembantu. Nah mulai dari situ, Calvin mulai kembali kerja."
"Apa kamu pernah nanya alasan kenapa dia kerja?"
"Pernah sekali. Tapi Calvin nggak jawab. Saat aku paksa dia untuk jawab, dia cuma senyum. Raina pikir Calvin tidak suka memberitahukan alasan kenapa dia bekerja ke orang lain. Makanya sejak saat itu, Raina berhenti nanya alasan dia bekerja."
"Aneh juga, ya. Padahal dia masih murid SMA. Tapi milih untuk bekerja. Emangnya dia nggak dapat uang jajan dari orang tuanya?"
Tanganku yang tadinya sedang mengaduk makanan langsung terhenti seketika. Tidak ada yang salah dari perkataan Bi Rika. Tetapi aku baru sadar, selama aku bersahabat dengan Calvin, baru kali ini aku terpikirkan tentang kedua orang Calvin.
Calvin sangat jarang menceritakan tentang kehidupan pribadinya. Kalau pun Calvin bercerita, itu palingan hanya sekedar tentang novel yang telah selesai ia baca, tidak ada yang lain.
Dan saat itu aku merasa bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Calvin. Sebuah rahasia yang sangat besar yang sudah Calvin simpan sejak lama.
"Eh, Bi. Di mana pak Kasim?" tanyaku sambil melihat ke arah sekitar.
Pak Kasim adalah orang yang ditugaskan oleh kedua orang tuaku untuk menjaga rumah sekaligus menjagaku. Aku memang tidak terlalu sering bicara dengan laki-laki itu. Tetapi aku bisa langsung menyadari saat laki-laki itu menghilang.
"Loh, nak Calvin belum ngasih tau kamu? Pak Kasim sudah dipecat. Sejauh yang Bibi tau, pak Kasim punya niatan jahat. Dan nak Calvin menyadarinya. Makanya nak Calvin langsung laporan ke kedua orang Dek Raina," jawab Bi Rika.
Aku tersenyum kecil. Calvin, laki-laki itu masih bertingkah sebagai sahabatku. Laki-laki itu masih melindungiku dari balik bayangan. Dan aku yakin, laki-laki itu masih menyimpan sedikit rasa peduli terhadapku. Yang artinya tinggal menunggu waktu saja. Akan kubiarkan waktu yang menentukan pertemuanku dengan Calvin selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan dan Peluknya
Teen FictionSeandainya Raina tau waktu mereka bersama sangatlah sesingkat itu, pasti Raina akan menikmati waktunya bersama Calvin dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, sehingga otaknya penuh dengan kenangan-kenangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan s...