Sebuah Janji

31 18 84
                                    

Aku mengambil sebuah gelas yang terletak di atas meja makan. Gelas kosong itu aku serahkan kepada Calvin yang sedang berdiri di belakangku.

Tanpa mengucapkan apa pun, aku yakin kalau Calvin paham akan maksudku. Dan benar. Calvin langsung melenggang pergi ke arah kulkas untuk mengambil minuman dingin lalu menuangkannya ke dalam gelas yang tadi aku berikan.

Aku menatap wajah Calvin sambil tersenyum kecil. Sahabatku itu memang selalu mengerti apa pun yang aku mau tanpa aku harus mengucapkan kemauanku terlebih dahulu.

Tentu saja aku sangat bersyukur karena bisa mendapatkan sahabat seperti Calvin. Orang baik dan pengertian seperti Calvin sangat sulit ditemukan. Dan aku  rasa, aku adalah salah satu orang yang sangat beruntung. Karena Tuhan mempertemukanku dengan Calvin. Dan mengizinkanku untuk menjadi sahabat Calvin.

"Mau lo senyum kayak bagaimana pun, gelas lo enggak bakalan terisi air dengan sendirinya. Jadi mending kurangin senyuman lo, terus belajar ambil minuman dingin sendiri," ucap Calvin sambil menaruh gelas berisikan air dingin tepat di meja depanku.

"Buat apa? Kan ada kamu di sini," balasku lalu meminum sedikit minuman yang ada di dalam gelas.

"Gua 'kan nggak dua puluh empat jam di sini. Kalau seandainya gua lagi nggak ada di sini dan lo dalam posisi haus, bagaimana coba? Masa lo mau mati cuma karena dehidrasi."

"Manusia tuh bisa hidup tanpa minum sekitar satu minggu. Dan kamu tuh setiap hari pasti datang ke sini. Jadi tidak mungkin aku mati karena dehidrasi."

"Terserahlah, Ra. Gua malas debat sama orang yang tingkat kemalasannya sudah sampai ke langit ketujuh."

Setelah mengucapkan hal itu, Calvin langsung duduk di kursi yang ada di seberangku. Calvin duduk sambil membaca sebuah buku novel romansa yang tadi ia ambil dari dalam kamarku.

Buku novel itu adalah milikku. Aku membelinya beberapa minggu yang lalu. Aku belum membaca buku itu sampai selesai, karena memang kebanyakan waktuku aku habiskan untuk tiduran sambil bermain ponsel.

Kalau diingat-ingat lagi, semua buku novel yang telah aku beli, kebanyakan buku romansa. Dan karena Calvin memang suka dengan cerita yang bertemakan romansa, Calvin selalu meminjam buku novelku.

Aku sendiri tidak begitu masalah dengan Calvin yang selalu meminjam dan membaca buku novel yang kubeli. Karena memang tujuan awal aku membeli banyak buku untuk Calvin. Tetapi sayangnya aku tidak bisa bilang tujuanku itu kepada Calvin. Karena Calvin tidak suka kalau aku mengeluarkan uang hanya untuk membeli sebuah barang untuknya.

"Mau sampai kapan kamu baca buku novel terus?" tanyaku sambil mengambil tissue yang ada di atas meja.

"Sampai gua bosan," jawabnya tanpa melihat ke arahku.

"Emang sekarang nggak bosan? Kan buku itu sudah kamu baca dari tadi pagi."

"Ini masih siang. Jadi belum begitu lama. Ini pun gua belum selesai bacanya."

"Baca buku novel segitu kok lama banget selesainya?"

Tidak ada balasan dari Calvin. Laki-laki itu hanya diam sambil menatap ke arahku.

Aku sendiri kebingungan. Pasalnya pertanyaanku tadi hanyalah pertanyaan biasa. Jadi tidak mungkin menyinggung atau pun menyakiti perasaan Calvin.

Aku tambah kebingungan saat tiba-tiba, Calvin menaruh buku yang tadi ia baca ke depanku. Calvin memberikan sebuah isyarat dengan matanya supaya aku melihat ke arah buku.

Sebelumnya aku tidak tau apa yang sebenarnya ingin Calvin tunjukkan. Tetapi saat aku melihat ke arah buku, aku sangat terkejut karena di kertas buku itu sudah terdapat banyak sekali tulisan dan lingkaran.

Hujan dan PeluknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang