Raina
Aku yang sedari tadi sibuk mengerjakan PR di meja belajar, mulai merasa bosan. Karena rasa bosan sudah menumpuk, aku memutuskan untuk mengalihkan pandanganku pada seorang laki-laki yang sedang tiduran di atas kasurku sambil membaca buku novel milikku.
Laki-laki itu bisa bersantai seperti itu karena laki-laki itu sudah mengerjakan tugas rumahnya lebih awal. Jadi laki-laki itu sudah tidak memiliki tanggungan lagi.
Sebenarnya aku bisa saja menyelesaikan tugas sekolahku dengan cepat. Tetapi lagi-lagi rasa malasku berhasil menguasai diriku. Membuatku selalu menunda mengerjakan semua soal yang ada di dalam buku tugasku.
Sebenarnya ada cara lain untuk menyelesaikan tugas itu. Tetapi aku tidak yakin cara itu akan berhasil dengan mulus. Cara itu adalah meminta bantuan Calvin.
"Vin. Bantuin aku ngerjain tugas dong," ujarku dengan wajah sedih.
"Jangan aneh-aneh. Tulisan tangan kita beda. Kalau ketahuan guru bisa berabe entar," balas Calvin sambil menutup buku novel yang sedang ia pegang.
"Tapi aku malas, Vin."
Calvin diam. Diamnya Calvin adalah sebuah jawaban tegas bahwa ia tidak akan pernah mau membantuku menyelesaikan tugas sekolahku kali ini. Dan aku pun hanya bisa mendengus kesal melihat Calvin. Laki-laki itu memang tidak bisa diandalkan dalam hal-hal yang seperti ini.
Aku mengalihkan kembali pandanganku ke arah buku tugasku. Menatap lima nomor soal yang belum aku kerjakan. Hanya dengan menatapnya saja, otakku sudah bisa menemukan jawaban-jawaban atas soal itu tanpa harus menuliskan rumus-rumusnya.
"Pena lo itu nggak bisa gerak sendiri. Jadi lebih baik lo pakai tangan lo buat nulis semua jawaban yang sudah ada di otak lo," ujar Calvin.
Aku sempat kaget. Bukan karena Calvin tiba-tiba berbicara. Tetapi karena sosok Calvin sudah berada di samping kananku. Bersandar pada meja belajarku, sambil menatap ke arah buku tugasku.
"Aku malas, Vin," balasku untuk kesekian kalinya.
"Ra. Lo tau nggak? Semakin lo diam seperti ini, semakin banyak waktu bersantai lo yang terbuang. Seharusnya lo sudah bisa bersantai sejak satu jam yang lalu. Tapi karena lo terus nunda pekerjaan lo, waktu bersantai lo pun harus dikorbankan," ucap Calvin sambil mendekatkan bolpoin yang ada di atas meja belajarku ke arah tangan kananku.
"Aku tau. Tapi mau bagaimana lagi, 'kan? Namanya juga orang malas, jadi maklumi aja."
Calvin kembali diam. Mungkin iya setuju dengan perkataanku barusan. Atau mungkin ia mempunyai cara lain supaya tugas-tugasku bisa selesai tanpa harus aku kerjakan.
Calvin bergerak ke arah meja riasku. Sahabatku itu mengambil sebuah kursi lalu menaruhnya tepat di belakang tubuhku. Yang berarti sekarang posisinya aku duduk di depan dan Calvin duduk di belakang.
Aku hanya diam. Mengamati apa yang akan laki-laki itu lakukan. Saat beberapa detik mengamati, senyumanku pun merekah saat melihat Calvin mengeluarkan sebuah sisir lalu menyisir rambutku dengan lembut.
"Sudah berapa lama gua nggak nyisir rambut lo?" tanya Calvin.
"Entah, lupa. Kayaknya sih terakhir dua bulan yang lalu. Pas acara ulang tahun nyokap," jawabku sambil menghadap ke arah depan.
"Kenapa orang semalas lo, bisa punya rambut sehalus dan seharum ini?"
"Kamu lupa? Kan setiap hari minggu kita pergi ke salon. Ya walau kamu pergi ke salon cuma buat nemenin aku doang. Jadi wajar aja kalau aku punya rambut sehalus ini."
Calvin lagi-lagi diam. Karena Calvin sering diam di tengah-tengah pembicaraan, membuatku tidak tau apakah alasan laki-laki itu diam karena kehabisan topik pembicaraan atau malah ada salah satu perkataanku yang menyakiti hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan dan Peluknya
Teen FictionSeandainya Raina tau waktu mereka bersama sangatlah sesingkat itu, pasti Raina akan menikmati waktunya bersama Calvin dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, sehingga otaknya penuh dengan kenangan-kenangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan s...