Warung Ramen

18 11 51
                                    

Calvin

Karena pekerjaanku di toko roti sudah selesai, aku berencana untuk pulang secepatnya. Aku melangkahkan kakiku ke luar toko roti. Dan berhenti tepat di depan pintu toko roti.

Tatapanku tertuju pada awan yang sebentar lagi menutup keindahan bulan secara sempurna.

Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam kantong jaket, suasana malam ini sangatlah dingin. Mungkin karena sebentar lagi akan hujan. Atau malah karena sebentar lagi akan memasuki musim dingin.

"Yo, apa kabar," ujar seseorang dari arah kananku.

Mendengar itu, aku pun langsung menengok ke arah kanan. Betapa terkejutnya aku saat melihat seorang laki-laki paruh baya dengan rambut berwarna pirang, menggunakan jaket tebal sedang berdiri tepat di samping kananku.

Aku tersenyum kecil. Aku tidak menyangka bahwa laki-laki itu akan datang ke tempat kerjaku. Karena setahuku, laki-laki itu sedang sangat sibuk mengurus kantornya yang ada di luar kota.

Laki-laki itu adalah Kevin Achiar. Ayah dari Raina.

"Bukannya Om sedang sibuk sama pekerjaan Om?" tanyaku balik sambil memalingkan wajahku.

"Sebenarnya sih iya. Tapi mana mungkin paman bisa diam, saat dengar anak paman sedang bertengkar sama sahabatnya terbaiknya," jawab Om Kevin sambil merangkul pundakku.

"Tidak, kami tidak bertengkar."

"Terus apa kalau bukan bertengkar? Om sudah dengar semuanya dari Reina, katanya akhir-akhir ini kamu sudah sangat jarang datang ke rumah. Ditambah lagi, kamu seperti menghindar dari Raina saat di sekolah. Sebenarnya ada masalah apa?"

"Ini urusan anak muda, Om. Masa Om yang udah punya istri, mau ikut campur urusan anak muda."

"Duh, kata-katanya. Tapi ya sudahlah. Mau makan ramen?"

Aku mengangguk pelan. Makan ramen, kegiatan yang selalu kami lakukan saat kami bertemu. Entah kebetulan atau bagaimana, tetapi kami sama-sama menyukai ramen dan kami mempunyai warung ramen kesukaan yang sama.

Karena memang waktunya sudah larut malam, kami pun langsung berjalan ke arah warung ramen kesukaan kami. Sepanjang perjalanan, Om Kevin terus menerus bercerita tentang kesibukannya. Dan seperti biasa, aku memberikan sedikit saran yang mungkin bisa membuat Om Kevin sedikit lebih tenang.

Sampai pada akhirnya kami sampai di depan sebuah warung kecil. Kami masuk begitu saja lalu duduk di meja makan yang tersedia. Tidak lama setelah kami duduk, datanglah seorang kakek tua membawa menu makanan.

"Kalian lagi, ya. Mau pesan seperti biasa atau mau pesan yang lain?" tanya kakek tua itu yang sudah sangat hafal dengan pesanan kami berdua.

"Seperti biasanya aja, Kek. Tapi minumannya di ganti. Saya bir," ujar Om Kevin dengan semangat.

"Baik. Tunggu sebentar," balas kakek tua itu lalu melenggang pergi.

"Apa nggak masalah?" tanyaku sambil melirik ke arah  Om Kevin.

"Apanya?" tanya Om Kevin dengan wajah polosnya.

Aku diam. Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaanku tadi. Karena aku sudah tau jawaban pasti yang akan diberikan oleh Om Kevin.

Sebenarnya Om Kevin tidak diperbolehkan untuk meminum bir. Karena setiap selesai minum, pasti Om Kevin akan mabuk. Dan kalau Tante Reina tau, pasti riwayat Om Kevin akan habis. Tetapi semoga saja hari ini Reina tidak memergoki kami di warung ramen ini. Aku masih ingin hidup.

"Sebenarnya apa masalah kalian?" tanya Om Kevin sambil menyenggol tanganku.

"Masalah? Masalah apa?"

"Om tau kalau kamu bukan orang bodoh. Jadi harusnya kamu tau apa maksud Om tanpa Om harus menjelaskannya lebih dulu."

Hujan dan PeluknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang