Mendadak

29 18 100
                                    


Dengan nafas yang masih tak beraturan aku menatap secara saksama poin yang ada di papan. 30-28. Tidak seperti yang kuharapkan sebelumnya. Ternyata pertandingan kami berlangsung sangat ketat sampai-sampai aku sudah tidak sanggup untuk berdiri lagi.

Tetapi mau seletih apa pun diriku, aku sangat senang karena pertandingan ini dimenangkan oleh kami. Kami yang tadinya sempat tertinggal banyak, sekarang bisa tersenyum lepas karena pertandingan telah usai dengan sebuah kemenangan manis untuk kami.

Aku merentangkan tanganku ke arah kanan. Mencoba untuk menggapai jaketku yang tadi aku simpan di pinggir lapangan sebelum pertandingan dimulai. Saat jaket itu sudah ada di dalam genggamanku, aku mengambil ponsel yang ada di dalam kantong jaket itu. Mengecek jam dan pesan yang sudah masuk sejak 30 menit yang lalu.

Mataku membulat sempurna saat menyadari bahwa sekarang sudah jam 17.00. Yang artinya aku telat mengantarkan Athena pulang ke rumah. Dan tentang pesan yang masuk, aku tidak membukanya. Karena aku yakin pesan itu dari om Kevin yang pasti menuliskan perintah untuk membawa Athena pulang secepatnya.

"Athena. Ayo pulang," ujarku sambil bangkit dari posisi dudukku.

"Mau pulang sekarang, Bro? Nggak mau nongkrong bareng kita dulu?" tanya Alvaro yang masih duduk manis di sampingku.

"Maaf. Tapi gua bawa anak orang. Bisa-bisa gua dimarahin sama bokapnya Athena kalau gua ikut nongkrong sama kalian dulu," jawabku sambil menatap Alvaro.

"Kalau begitu. Gua minta nomor telepon lo. Biar pas ada waktu senggang, kita bisa ketemuan."

Aku menggelengkan kepalaku secara perlahan. Menandakan bahwa aku tidak akan memberikan nomor teleponku pada laki-laki itu. Bukan karena aku sombong. Tetapi karena aku memang tidak bisa. Aku tidak bisa memberikan nomor teleponku pada orang yang bukan sahabatku.

"Selamat tinggal. Terima kasih karena sudah biarin gua main bersama tim lo," ujarku lalu melenggang pergi.

Diikuti oleh Athena yang berjalan di sampingku, kami berdua berjalan ke arah pintu keluar gedung olahraga. Sebelumnya aku berpikir untuk langsung pulang setelah dari sini. Tetapi sepertinya pikiranku itu tidak sepenuhnya akan terwujud. Pasalnya ada seorang perempuan yang berjalan mengikuti kita. Perempuan itu adalah Serena Shinju.

"Vin. Si Serena sekalian ikut, ya. Soalnya dia mau nginap di rumah gua malam ini," ujar Athena sambil merapatkan jarak antara dirinya dengan diriku.

"Terserah. Yang penting nanti kalau bokap lo nanya kenapa pulang telat, lo harus bisa jawab dan jangan bawa-bawa gua ke dalam alasan lo. Gua nggak mau cari masalah sama om Kevin," balasku tanpa memandang Athena.

"Lah, nggak bisa gitu dong. Kan lo yang bikin latihannya lama. Kalau aja lo sejak awal ngalah dan nggak main serius, latihannya pasti sudah selesai dari tadi. Jadi yang salah ya lo."

Aku menghentikan langkahku saat mendengar hal itu. Aku tau kalau seorang perempuan tidak ingin disalahkan. Aku tau betul itu, karena aku mempunyai sahabat perempuan yang memang sifat aslinya begitu. Tidak ingin mengalah dan tidak ingin salah. Tetapi apakah aku harus terus mengalah? Tentu saja tidak. Namun karena sekarang kondisinya aku dan Athena sudah memiliki hubungan khusus, mau tidak mau aku harus menurunkan egoku. Dan membuat karakter laki-laki yang pantas untuk menjadi pasangan dari seorang Athena Bianca Mecca.

"Iya. Gua yang salah. Dan sekaligus gua juga mau minta maaf sama lo. Tapi sepertinya gua terlalu terbawa suasana, sampai-sampai buat lo harus nerima seluruh service ace gua. Maaf, Serena," ujarku lalu menatap Serena yang berdiri tepat di samping kanan Athena.

"Enggak masalah, kok. Lagian memang sudah tugas libero untuk menerima semua serangan lawan. Jadi santai aja," ujar Serena sambil tersenyum kecil.

Aku tersenyum hambar. Aku sebenarnya sama sekali tida ada niatan untuk melanjutkan obrolan. Tetapi sepertinya itu tidak bisa. Pasalnya tidak mungkin dari sekolah sampai rumah Athena, kami hanya diam membisu di dalam mobil.

Hujan dan PeluknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang