Calvin
Aku menatap secara saksama pelanggan yang baru saja membayar roti yang ia beli di meja kasir. Aku menatapnya bukan karena aku tidak sama sekali tidak merasakan ada yang aneh dari pelanggan itu. Tetapi aku cuma bingung. Wanita mana yang bersedia keluar rumah di jam segini hanya untuk membeli sebuah roti? Ini sudah jam 21.00. Yang artinya ini sudah hampir tengah malam. Jadi aku bingung, apakah wanita itu membeli roti untuk ia makan malam ini atau disimpan untuk hari esok? Tetapi kalau untuk hari esok, kenapa tidak beli hari esok saja?
"Kenapa? Apa ada yang aneh?" tanya Keysha sambil berjalan mendekatiku yang sedang ada di dekat rak roti.
"Cewek tadi beli roti, 'kan? Emang ada ya cewek yang rela keluar rumah malam-malam begini cuma untuk beli roti?" tanyaku sambil menatap Keysha.
"Entah, nggak tau. Kalau gua sih tinggal ambil di dapur."
Jawaban yang sangat polos. Aku bodoh karena menanyakan hal itu pada anak pemilik toko roti.
"Bulan besok lo pindah toko. Lo bakalan jaga toko yang ada di distrik sebelah," ujar Keysha lalu melenggang ke arah meja kasir.
"Oi, jangan bercanda. Mana mungkin gua pindah begitu aja? Gua masih sekolah di sini," balasku keberatan dengan perintah pindah tempat kerja yang mendadak.
"Bukan buat jangka waktu yang lama. Cuma pas Golden Week doang."
"Lah, emangnya karyawan yang ada di sana kenapa? Kenapa gua harus repot-repot pindah ke sana?"
"Karyawan di sana ambil cuti semua. Tapi sebenarnya nyokap gua mau ngasih libur ke mereka, karena Golden Week itu. Eh, keduluan sama mereka yang tiba-tiba ngajuin cuti. Jadi libur mereka bulan besok itu dihitung cuti bukan libur resmi."
"Lah, kenapa cuma mereka yang dikasih cuti? Di sini ada gua, lho. Gua juga butuh cuti kali."
"Gua sudah bilang ke nyokap. Tapi karena dia takut gua ngikut lo ngambil cuti, jadi nggak dibolehin, deh."
Aku menatap malas Keysha. Perempuan itu masalah terbesarku. Kemalasannya memang tidak separah Raina. Tetapi kelicikannya itu sangatlah berbahaya. Aku sendiri sampai sekarang tidak tau bagaimana cara untuk menghadapi secara langsung sikap licik perempuan itu.
"Oh, dia datang," ujar Keysha sambil menatap ke arah luar toko.
"Dia? Dia siapa?" tanyaku sambil mengalihkan pandanganku ke arah luar toko.
"Teman lo."
Pandanganku tertuju pada seseorang yang berdiri tepat di depan toko. Menggunakan drees berwarna navy, membawa tas selempang wanita berwarna hitam, dan tak lupa high heels berwarna putih.
Kalau dilihat dari belakang, dia memang terlihat seperti wanita. Tetapi kalau dari depan, dia adalah seorang laki-laki yang berdandan seperti wanita. Waria, mungkin itu sebutan yang pas untuknya.
"Gua ambil jam istirahat pertama," ujarku sambil melangkahkan kakiku ke arah pintu keluar.
"Oi, Bego! Harusnya kan gua yang dapat istirahat pertama!" teriak Keysha.
Aku sama sekali tidak memperdulikannya. Sebelum aku keluar dari toko, aku menyempatkan mengambil dua buah roti dari rak.
"Oi," ujarku sambil melemparkan salah satu roti ke arah orang itu.
"Hei, astaga. Jangan ngagetin, Nene," ujar orang itu dengan nada manja.
Nama asli laki-laki itu adalah Hitto Rinaldi. Tetapi karena sekarang kondisi laki-laki itu sudah "berubah" maka nama panggilannya menjadi Nene.
Ya, seperti para waria pada biasa. Penampilannya hampir menyerupai perempuan. Andai saja otot-otot di lengannya dihilangkan, pasti laki-laki itu akan benar-benar terlihat seperti perempuan. Aku bersyukur, karena laki-laki itu memiliki otot. Karena kalau tidak, maka pasti sampai saat ini aku akan menganggap laki-laki itu sebagai perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan dan Peluknya
Fiksi RemajaSeandainya Raina tau waktu mereka bersama sangatlah sesingkat itu, pasti Raina akan menikmati waktunya bersama Calvin dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, sehingga otaknya penuh dengan kenangan-kenangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan s...