Yunho memukul-mukul dadanya, napasnya tercekat. Air mata memaksa keluar. Si pemilik berusaha menahannya namun barangkali cairan terlalu banyak sehingga buncahannya tak dapat tertahan lagi. Tubuhnya gemetar, tak kuasa menahan berat badannya tatkala mendengar berita dari salah satu temannya, San, bahwa Mingi—teman terbaiknya sedari SMP—sudah tidak bernyawa di kosannya dengan kaki yang sudah tidak memiliki jari.
Jongho mematung, sedangkan Seonghwa ikut bersedih namun masih mampu menenangkan Yunho yang terus memukul dirinya sendiri. Yang berlima masih menunggu waktu, menyiapkan mental untuk bertemu Mingi—terlebih Yunho yang masih belum mampu berjalan.
.
.
.
.
.
.
.
.
5 menit yang lalu
Hongjoong meletakkan cangkir kopinya, merogoh saku celana mengambil handphone yang terus berdering. Dilihatnya panggilan dari San.
"Ya?"
"Kak.. Mingi.." Suaranya bergetar.
"Mingi? Mingi kenapa? dia udah sampe kosan?"
"Mingi berdarah kak—dadanya ditembak, kakinya—"
Hongjoong diam melamun. Menanti kalimat lanjutan dari San.
"Mingi kenapa, kak?" tanya Jongho penasaran akan air muka Hongjoong yang berubah. Namun Hongjoong masih saja membeku ditempat.
"Kakinya udah ga ada jarinya, dipotong. Gue bingung—hiks—di sini udah kaya genangan darah,"
"Lo bercanda?" Tanya Hongjoong memastikan.
"Kenapa juga gue ngebercandain kematian orang, kak!"
"Joong, Mingi kenapa?" Tanya Seonghwa lagi.
"Kata San, Mingi udah.. udah ga bernyawa di kosannya. Jari kakinya dipotong—astaga, gue hubungi ambulans dulu."
Yunho segera mengambil handphonenya gemetar, memanggil nomor Mingi tergesa berharap yang didengarnya hanya candaan. Namun setelahnya panggilan diangkat oleh San dan semua itu adalah benar.
Seonghwa mencoba mengubungi keluarga terdekat Mingi dan menelpon polisi. Wooyoung yang baru saja datang dari toilet langsung terduduk lemas.
"Ayo ke kosan Mingi,"
"Bentar kak, ini kak Yunho—" Jawab Jongho panik
"Yunho, jangan kaya gini. Kita juga di sini lagi panik. Sekarang kita berangkat bareng, ayok—" Hongjoong menarik paksa lengan Yunho, membawa semua rekannya ke dalam mobil.
"Kak, gue bawa motor. Gue duluan " Jawab Wooyoung cepat.
"Iya, hati-hati. Jangan ngebut." Kata Seonghwa cepat kepada Wooyoung sebelum naik ke dalam mobil. Wooyoung mengangguk, segera memakai helm nya dan melesat ke jalanan.
Sesampainya di tempat, daerah kosan yang Mingi tempati sudah ramai. Ambulans dan bentangan garis kuning polisi sudah terpajang di sana. Para tetangga kos berlarian keluar, merinding melihat korban yang berlumuran darah serta kakinya yang sudah tak memiliki jari.
Mereka melihat jasad Mingi sudah ditutupi.
Sayang, momen terakhir mereka dengan Mingi tidak begitu spesial, begitu juga dengan kehidupan Mingi, salah satu dari sekian banyak orang yang mendapat cerita hidup yang malang.
Ketujuh orang kerabat Mingi terududuk di pinggir gedung tempat Mingi tinggali. Tidak ada yang buka suara sebelum Yunho bertanya, "Kak Hwa tadi telpon mama tiri nya Mingi? Katanya apa?"
Seonghwa menghela napas kecewa, "Ya gitu biasa aja. Katanya dia sedih terus malah bilang turut berduka sambil nangis bombay. Padahal gue denger adeknya nangis kenceng banget, minta ketemu."
"Emang nenek lampir goblok! Anaknya meninggal aja masih kaya gitu. Setan." Yunho menendang kakinya ke tembok. Dirinya dan yang lain merasa marah. Pikir mereka, selama hidup Mingi harus melewati hari yang menyulitkan, dan dalam kematiannya pun, dunia tidak membiarkannya dengan cerita indah.
"San." Tanya Wooyoung tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Yang ditanya memalingkan wajahnya selagi yang bertanya meneruskan kalimatnya, "Kok lo bisa ada di kosannya Mingi? Lo abis ngapain?"
San menautkan alisnya, "Ya gue kan emang sering lewat jalan pintas yang ke arah gedung kosan Mingi. Tapi gue tiba-tiba kepikiran sama Mingi, soalnya dia murung terus semenjak wisudaan. Gue khawatir kan, yaudah gue masuk ke gedungnya. Terus gue kaget pintu kosannya kebuka dikit. Pas gue masuk Mingi udah kebaring banyak darah." Ceritanya membuat San kembali melemas.
"Terus waktu lo anter Mingi, lo ga liat ada tanda-tanda? atau ada orang yang ngikutin gitu, Sang?" Lanjut Wooyoung.
"Enggak kok, gue anter Mingi sampe depan gedung, ga ada siapa-siapa, sepi." Jelas Yeosang.
"Yang ngebunuh mungkin nyari waktu yang pas, biar gak ada siapa-siapa. Tapi, bukannya gimana, jangan-jangan Mingi kelilit hutang?" Ragu Hongjoong.
"Enggak, Mingi selalu cerita ke gue sesusah apapun dia ga berani ngutang. Ya—mana tau Mingi pernah kepepet terus kepaksa ngutang. Tapi sejauh yang gue tau dia ga berani ngutang kok." Yunho menimpali dengan serius.
"Gue yakin juga, pelaku nya udah tau asal-usul Mingi yang ga punya kerabat, jadi bakal gampang buat kabur soalnya Mingi ga bakal punya orang-orang yang 'back up' dia."
Penjelasan Seonghwa benar adanya, membuat yang lain mengangguk, ada juga yang menatap lurus. Seonghwa kembali berujar. "Yaudah biar polisi yang urus. Kita ga bisa tau, gue rasa ini dendam pribadi? Sampe motong jari kaki."
"Gue sih ga percaya sama polisi." Tukas Wooyoung.
Semua pandangan tertuju pada Wooyoung, meminta alasan atas ucapannya dari tatapan. "Sekarang kalau gak dijejelin uang, mana mau gerak? Paling mereka minta gue, San sama Yeosang jadi saksi terus nutup kasusnya pake cerita ngarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
tinkerbell [ateez]
Mystery / ThrillerJika kamu mendapat E-mail itu, maka bersiaplah kamu yang selanjutnya. cw // thriller, psychopath, violence, mystery, friendship, murder, blood Terinspirasi dari drama 'Mouse' dan penulis-penulis ff/au hebat yang pernah aku baca. Disclaimer! Cerita t...