Wooyoung membekap area hidung dan mulutnya karena debu dan seranggga kecil kian memasuki tiap indera. Bukan tanpa alasan Wooyoung meringkuk di bawah lemari tua si kakek, melainkan bersembunyi saat ada penggeledahan dari pihak kepolisian.
Di bawah lemari terdapat ruang seukuran badan manusia yang tidak terlalu besar. Kakek itu tidak main-main saat ia mengatakan ingin menyelamatkan hidup Wooyoung. Walaupun sudah Wooyong jelaskan berkali-kali bahwa dirinya dituduh pembunuhan, tapi si kakek terus berdalih atas keyakinan hati bahwa Wooyoung buka orang jahat.
Dari luar terdengar sayup-sayup suara derapan langkah kaki. Ada yang membuka lemari, gudang kayu, bahkan mesin cuci tua ikut tergeledah.
"San, ada balesan dari Jongho?"
Wooyoung menahan napas saat mendengar suara Yunho di atas sana. Ternyata mereka berdua ikut mencari dirinya. Entah kenapa Wooyoung hanya senang, senang kalau mereka masih hidup. Ya, walaupun mereka jelas-jelas menuduh Wooyoung. Bagaimanapun juga, mereka telah melalui banyak hal bersama.
Tidak apa, sebut saja kalau Wooyoung bodoh. Dirinya dituduh membunuh oleh sahabatnya sendiri yang padahal kenyataannya tidak benar, tapi dirinya malah melarikan diri. Dirinya membuat semuanya tambah rumit. Iya, sebut saja Wooyoung bodoh.
"Udah, katanya tim cadangan lagi istirahat."
"Kasian Jongho. Gara-gara Wooyoung dia gak jadi ikut turnamen, cuma jadi cadangan."
Deg
"Emang psikopat brengsek." Suara Yunho menggema di sana dengan tendangannya pada papan kayu.
Dada Wooyoung rasanya sakit. Posisinya yang bersembunyi membuat rasa sesak semakin menyesakkan. Bukan, bukan karena dua sahabatnya mengatainya brengsek. Tetapi karena ulahnya yang membuat Jongho tidak bisa mengikuti turnamen.
Ini gara-gara penyakit sialan. Jongho, sekarang gue tau kenapa lo ga pernah bales pesan gue. Tolong ampuni gue.
Wooyoung menjambak rambutnya yang berada pada posisi bekas jahitan. Rasa bersalah yang menggerayangi membuat area punggungnya panas. Cairan mata meluncur begitu saja tanpa permisi. Wooyoung mengelapnya kasar, lalu kembali menjambak rambut. Dirinya menahan erangan. Denyutan pada kepalanya tak kunjung hilang.
Harus ia tahan, ini antara hidup dan mati.
Wooyoung tak mau dibenci. Selama ini ia menahan begitu banyak rasa sakit. Semua berawal dari kejadian Mingi, saat ia melihat jasad Mingi yang penuh darah.
Tidak. Mungkin semua ini berawal dari kejadian palu yang menimpanya.
Tidak. Mungkin semua ini berawal dari teater saat perpisahan.
Teater yang menampilkan banyak genangan darah dan perilaku pembunuhan.
Iya, getaran pada dadanya begitu bergemuruh saat itu. Matanya memandang memuja pada alur cerita, jantungnya berpacu lebih cepat saat sang penjahat membunuh si korban di akhir cerita.
"Tadi katanya gak ada tanda-tanda Wooyoung, San?"
"Gak ada." Jawabnya lurus. San masih fokus pada handphonenya. Mengetik sesuatu tak kunjung selesai sedari tiga puluh menit yang lalu.
"Gue rasa, mentang-mentang ini kasus anak remaja, mereka si polisi kerjanya gak becus. Kaya gak niat."
San mengangguk. "Gue jadi kepikiran Wooyoung pernah ngomong kalo dia gak percaya sama polisi."
Yunho berkerung, "Waktu kapan?"
"Waktu kita sama-sama liat jasad Mingi, kita ngobrolin itu di pinggir gedungnya. Gue jadi mikir orang kaya gitu pinter bikin strategi. Wooyoung gak main-main."
"Sialan." Yunho menendang tong sampah di sampingnya. Tipikal Yunho sekali, menendang sesuatu jika tersulut emosi.
"Wooyoung, drama lo hebat banget. Lo pura-pura nangis waktu kak Seonghwa sekarat. Bangsat, gue pengen bunuh lo pake tangan gue sendiri. Mingi, Yeosang, kak Hwa, kak Joong." Yunho terisak. Diusap kasar wajahnya dengan kembali menunjukkan ekspresi ambisius.
"Gue besok mau ikut cari Yeosang." Kata Yunho.
San dengan cepat memalingkan wajahnya pada yang berbicara, menautkan kedua alisnya. "Lo mau ikut keluarganya Yeosang?"
"Iya. Mereka udah ga mempermasalahin soal gue yang bawa handphonenya Yeosang. Ceritanya panjang."
"Baguslah. Gue berharap Yeosang masih napas. Ya-walaupun mustahil." San menghela napas panjang. Yunho yang merasa ngeri mendengar kalimat itu ikut terpejam.
Lagi, mereka mengusap wajahnya gusar. Bisa dibilang wajah keduanya tak karuan. Tak tidur beberapa hari, makan tak terasa kenyang, tak makan tak terasa lapar.
"Yunho, gue punya ide. Tapi gue gak terlalu yakin."
Kentara Yunho memandang San penuh harap.
"Besok lo ga usah ikut cari Yeosang. Kita cari Wooyoung sama-sama. Lo mau hancurin dia pake tangan lo sendiri, kan?"
"M-mau. Gimana caranya?"
Terpatri senyuman remeh. "Pertama, gue tau kalo Jongho masih sering ngehubungin Wooyoung."
"Maksudnya? Wooyoung ganti nomor? Lo nyembunyiin sesuatu dari gue?" Yunho bangkit dari duduknya, nada bicaranya meninggi.
"Dengerin gue dulu. Gue udah bilang 'gue gak yakin' tadi."
"Terus?"
"Lo tau sendiri kan Jongho. Sesalah apapun Wooyoung, dia masih nempel sama Wooyoung. Barangkali sebenernya Jongho masih kontakan sama Wooyoung dan kita gak tau, kita bisa pancing."
"Gak mungkin, San. Masalahnya ini udah tentang bunuh-bunuhan. Dia juga udah bikin Jongho luka. Gak mungkin Jongho masih mau nerima Wooyoung. Kalo iya, Jongho orang terbego sedunia."
"Makannya, gue mau mastiin Jongho orang paling bego atau bukan."
Yunho bungkam. Sebenarnya ini kesempatan yang dapat Yunho ambil karena tidak akan ada campur tangan orang tua maupun polisi. Tapi tetap saja, kemungkinannya lebih kecil bahkan dari satu bagian.
Yunho mendengarkan rencana San dengan seksama. Setelahnya, ia mengangguk kikuk.
"Jadi intinya kita bilang ke Jongho kalau Wooyoung ga bersalah, terus gue pura-pura pengen ketemu Wooyoung?"
"Iya, di gedung kosong waktu kita angkut jasad kak Hwa. Lo siap-siap bawa mobil buat angkut jasad Wooyoung."
Yunho meneguk saliva, perkataan barusan membuat telinganya berdengung. "Gue masih mikirin resikonya. Lo ga paham kita bakal bunuh buronan? Lagian lo sendiri yang nonton video Wooyoung dari kecil udah kaya gitu. Itu gen bawaan. Kemungkinan ini penyakit Wooyoung tanpa Wooyoung sadari."
"Paham. Tapi kita ga bisa nahan dendam ini lagi. Apa lo masih inget sama sahabat lo yang lain? Mereka gak bersalah. Si bajingan pantes mati ditangan kita."
"San, kita sama aja kaya pembunuh."
San mendengus. "Gue gak peduli. Terserah lo mau ikut atau enggak-"
"Mau. gue ikut."
KAMU SEDANG MEMBACA
tinkerbell [ateez]
Mystery / ThrillerJika kamu mendapat E-mail itu, maka bersiaplah kamu yang selanjutnya. cw // thriller, psychopath, violence, mystery, friendship, murder, blood Terinspirasi dari drama 'Mouse' dan penulis-penulis ff/au hebat yang pernah aku baca. Disclaimer! Cerita t...