"Ini Baba Ahmad dan ini Ummi Syafiah, kau panggil saja mereka Baba dan Ummi", jelas Hawa menatap Ibrahim yang bingung.
Lima menit yang lalu mereka sampai di lingkungan tempat tinggal Hawa. Hari masih cerah, meski beberapa jam lagi matahari akan mulai tenggelam. Hawa khawatir mereka menunggu Malik terlalu lama di apartemen. Alasannya? Tentu saja karena sepulang mereka dari membeli es krim pintu apartemen tertutup dan meminta mereka untuk memasukkan password yang kombinasinya sama sekali tak ada dalam ingatan mereka berdua.
Ponsel Hawa terus berdering memanggil Malik. Tapi, tak satu pun panggilan itu diterima. Putus asa, Hawa memutuskan untuk membawa Ibrahim ke rumah Baba. Baba tidak mungkin marah dan pasti mengira Ibrahim salah satu murid di TK yang lupa dijemput oleh orang tuanya. Itu bukan masalah. Lagi pula Ibrahim juga bisa jalan-jalan daripada hanya duduk diam di dalam apartemen Malik kan?
Kini Baba dan Ummi berdiri berdampingan menatap wajah lusuh Ibrahim yang penuh dengan bekas cokelat dari es krim yang dimakannya di bus tadi. Baba dan Ummi saling menatap. Alis mereka terangkat tapi tiba-tiba berubah cerah dan menyambut Ibrahim dengan ceria.
"Ya Allah, dari mana anak kecil ini? Di mana orang tuanya?", Baba Ahmad mencubit pipi Ibrahim.
Ummi melap bekas cokelat dari bibir Ibrahim menatapnya dalam-dalam. "Kau lapar sayang? Mau tinggal untuk makan malam?".
"Dia anak yang akan kuasuh mulai sekarang", Hawa menunggu respon dari mereka berdua. "Hari ini aku berhenti kerja paruh waktu di toko roti dan sebagai gantinya aku akan menjadi pengasuhnya".
"Kau tak bercanda kan?", Ummi bingung.
"Tentu saja tidak".
"Ini pekerjaan yang bagus, tapi apa orang tuanya mengizinkan dia ke sini? Apa mereka tak mencari anak ini?", Baba bertanya dengan nada semangat.
Tangan Baba terulur ke sekitar tubuh Ibrahim dan menggendongnya dengan enteng. Tubuh gembul Baba dan tubuh mungil Ibrahim bersanding bersama bagaikan orang dewasa yang sedang memeluk boneka kesayangannya. Baba tak bisa berhenti tersenyum sejak bertemu Ibrahim. Ummi juga kini mengelus tangan kecil Ibrahim yang masih diam dalam kebingungannya.
"Akan kujelaskan pada pamannya, dia tinggal bersama pamannya karena itu aku yang akan mengurus keperluannya saat pamannya pergi bekerja", telapak tangannya mengusap dahi perlahan.
"Kau harus menelponnya nanti setelah makan malam, biarkan dia di sini untuk sementara", Baba dan Ummi membawa masuk Ibrahim ke dalam rumah.
Hawa mengikuti mereka melewati tumpukkan karpet-karpet di sekelilingnya.
"Apa mereka orangtuamu?", bisik Ibrahim yang duduk di samping Hawa.
Sudut mulut Hawa terangkat. Pertanyaan itu keluar dari mulut anak berumur empat tahun terdengar lucu di telinganya. Matanya tak berpindah dari daun bawang yang tengah diirisnya. Bau tajam dari daun bawang hampir-hampir membuat matanya perih dan mulai berair. Dapur mereka terasa ramai hanya dengan kedatangan seorang anak kecil. Sementara Ibrahim duduk manis menunggu makan malam di hidangkan, ia rupanya ingin mengusir kebosanannya dengan mengajak Hawa bercengkrama.
"Mereka sudah kuanggap orang tuaku sendiri", balas Hawa pelan.
Suara dentuman mata pisau dan talenan kayu tidak bisa meredam balasan Hawa untuk sampai ke telinga Baba dan Ummi yang sibuk berdiri di belakang kompor. Punggung Baba dan Ummi seolah berkata, 'kami mendengarmu dan kami senang dengan jawabanmu'. Hawa tak berhenti tersenyum dan pipinya mulai memerah.
"Kau sangat beruntung", Ibrahim menyandarkan punggung ke sandaran kursi kayu yang warnanya sudah pudar itu.
"Aku rasa begitu", pundak Hawa terangkat perlahan dan senyumnya tersungging.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on Me, Singapore
RomanceSetelah kehilangan sang kakak, hidup Malik Mahendra jadi hampa meski ia adalah seorang businessman Singapura yang sukses di usia muda dan berasal dari keluarga konglomerat yang popular di negara itu. Sampai suatu hari, seorang anak laki-laki datang...