1 - Anak Bernama Ibrahim

115 11 5
                                    

Hujan malam ini mengantarkan langkah kaki Hawa kembali ke terminal bis yang dipenuhi banyak orang berteduh. Hawa telah sampai di terminal bis dekat gedung flat-nya. Tadinya ia sudah berlari keluar dari bagian terminal ini tapi sadar bahwa hujan mulai turun begitu deras, jadi ia berlari secepatnya kembali ke sini. Beberapa rintik hujan meninggalkan bekas titik-titik air di jilbab biru yang dikenakan Hawa.

Saat duduk di kursi tunggu bersama orang yang menatap hujan bersamaan dengan helaan napas pasrah karena tak membawa payung, mata Hawa tertuju pada seorang anak kecil yang menenteng ransel besar berwarna army. Anak laki-laki itu baru saja turun dari bis yang datang merapat ke terminal. Ia mengenakan jaket yang kancingnya tak sesuai. Jadi bentuk jaketnya terlihat aneh. Topi merah yang dikenakannya juga terlihat longgar sehingga sesekali ia menyingkirkan ujung topi saat menutup matanya. Yang membuat Hawa langsung menangkap pemandangan anak itu adalah ia terlihat kebingungan. Secarik kertas terus dipeganginya dan dibaca berulang-ulang. Matanya melirik ke sana kemari di antara kerumunan para orang dewasa yang tidak mempedulikan keberadaannya.
Hawa memutuskan untuk mendekat. Ia lebih merapatkan jaket jeansnya yang berwarna senada dengan jilbab yang ia kenakan, lalu mantap berdiri di samping si anak lelaki.

“Hi, are you lost?”, tanya Hawa bernada ceria.

“Um… yes miss, I guess”, jawabnya ragu.

Si kecil ini menurunkan kertasnya seolah ia berusaha untuk menyembunyikan tulisan di kertas itu dari tatapan Hawa. Hawa tersenyum. Tentu anak ini takut karena langsung di dekati. Kalau ia mengikuti petunjuk orang tuanya dan bisa bepergian seperti ini sendirian tentu ia sudah diberitahu tentang orang asing yang mengajak bicara dengan nada ceria.

“Apa kakak bisa membantu? Kakak tak akan mengganggu kalau kau yakin bisa sampai ke tujuanmu sendirian”, Hawa menawarkan pilihan padanya.

Anak itu berpikir, sesekali ia mengintip pada kertasnya dan menatap wajah Hawa begitu polos. Hembusan napas perlahan keluar dari mulutnya dan tubuhnya seolah telah menahan rasa gugup sejak tadi. Apa kini dia sudah memastikan bahwa Hawa bukan orang jahat?

“My name is Ibrahim, ibu pernah bilang kalau aku tak boleh menerima bantuan orang asing. Tapi kalau kita berkenalan, kau bukan lagi orang asing bagiku kan?”, ucapnya mengulurkan tangan.

Hawa tertawa kecil melihat betapa cerdasnya anak ini. Ia menerima uluran tangan mungil yang telapaknya terasa begitu dingin.

“Aku Hawa Halimah, panggil saja kakak Hawa”.

“Baiklah”, Ibrahim melepas tangannya dan memberi kertas pada Hawa. “Aku berencana ke alamat ini, apa kakak tau tempatnya?”, mata si kecil ini berbinar-binar menunggu jawaban.

“Wah, jaraknya sekitar satu terminal lagi dari sini. Bagaimana kalau kita tunggu bisnya datang lalu kakak temani sampai di sini, mau?”, Hawa mengembalikan kertas itu.

Ibrahim menerima kembali kertas itu dan mengangguk sekuat yang ia bisa. Senyumannya kini merekah saat menatap Hawa. Hawa menawarkan uluran tangan dan menunjuk kursi tunggu yang kosong. Cepat-cepat Ibrahim menyambar tangan itu dan mengikuti langkah pelan Hawa menerobos kerumunan orang-orang yang berjalan berlawanan arah.

Setidaknya, Ibrahim menemukan seorang malaikat cantik yang bisa menjadi tempatnya bersandar sampai tiba di tujuannya. Kini teman kecil Ibrahim yang bernama ‘takut’ tak lagi mengusik hati dan pikirannya. Meski kembali mengingat perjalanan panjang yang ia tempuh sendirian di kelilingi orang-orang dewasa ini, ia tak lagi khawatir. Berkat genggaman tangan Hawa yang hangat menjalar ke kulit tipis miliknya yang sudah kedinginan sejak tadi. Ibrahim merasa nyaman.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di terminal bis tujuan Ibrahim. Hujan masih turun begitu deras. Langkah kaki mereka berdua ragu-ragu berjalan keluar dari terminal. Hawa melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Kalau menunggu hujan reda, mereka bisa terjebak di sini selama beberapa jam ke depan. Seorang anak kecil dan perempuan, tentu tak ingin berlama-lama sampai jam tengah malam di luar.

Rain on Me, SingaporeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang