17 - Pesta Bencana

11 3 0
                                    


Taman berbentuk persegi dengan luas sekitar 24x30 meter itu membentang dengan alas rerumputan hijau segar. Orang-orang berjas dan bergaun santai terlihat berdiri sambil berbincang dan beberapa duduk di meja-meja bundar yang disiapkan di tengah taman. Meja panjang di pinggir taman menyediakan beragam hidangan mulai dari menu pembuka sampai dessert yang menggoda.

Ishaq berkeliling menyapa semua tamu undangannya bersama Malik yang sejak setengah jam yang lalu terus memasang senyum enggan di wajahnya. Sesekali Malik menghela napas pelan dan mendapati ayahnya melirik dengan tatapan sinis. Tak ada wajah yang dikenalnya di pesta itu. Tetapi, begitu ayahnya asyik mengobrol dan ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, ia mendapati seorang wanita berseragam pink yang meletakkan kue dengan begitu hati-hati di atas meja. Sepertinya itu teman Hawa, bukan?

Ishaq lalu berpindah ke meja bundar, meraih satu gelas dan pisau steak dari atas meja. Ia mendentingkan gelas itu dan menatap semua tamu yang kini memperhatikannya. Sementara Malik hanya tinggal diam berdiri di belakang Ishaq bak pelayan yang siap melayani. Ia tak punya pilihan karena itu perintah ayahnya sejak ia datang ke pesta itu.

"Terima kasih atas perhatiannya, saya yakin kalian sudah mengenal Malik dan bagaimana kinerjanya di perusahaan kita selama tiga tahun ini. Jadi, saya mohon bantuan untuk anak saya ke depannya. Sebagai ayah saya ingin mengucapkan bahwa saya bangga memiliki dia sebagai anak saya", Ishaq memutar tubuhnya beberapa derajat untuk menatap Malik sekilas. "Kalau begitu, selamat menikmati pesta hari ini. Oh, dan Tuan Han, terima kasih atas hadiah hidangan penutup hari ini, kalian benar-benar tak perlu repot-repot".

Setelah menurunkan gelas dan pisau kembali ke tempatnya, Ishaq duduk di kursi dan siap menyantap hidangan yang ada di depannya. Malik tetap bergeming, ia membuat ayahnya harus mendongak menatapnya yang masih berdiri tak bergerak.

"Kau tak mau makan? Kau tau berapa biaya yang ayah keluarkan untuk pestamu ini?", bisiknya.

"Aku tak pernah meminta pesta semewah ini Ayah".

"Diam dan turuti kata ayah".

"Aku butuh sedikit ruang, aku akan masuk ke kamar sebentar. Katakan saja pada teman ayah aku pergi ke toilet", ucap Malik sambil lalu.

"Malik!", Ishaq baru akan berteriak sebelum ia berhenti dan memastikan tak ada orang yang mendengarnya memekik.

Langkah Malik membawanya pada ruangan keluarga di lantai bawah di gedung yang dekat dengan taman. Hanya ada kaca besar yang menjadi dinding pemisah antara taman dan ruangan itu. Sofa, rak buku, lukisan-lukisan abstrak terpajang di ruang tengah itu. Malik memilih untuk beranjak menaiki tangga yang terbuat dari kayu mahoni menuju ke lantai dua. Tiba di lantai dua, ada beberapa ruangan tertutup dan ruangan utama yang membuka ke dapur dan balkon. Malik memilih untuk masuk ke salah satu ruangan tertutup.

Matanya mengedar di sekitar ruangan itu. Ia menghirup udara berdebu dan bau cat minyak yang menyeruak dari ruang yang baru saja dibukanya. Seperti tidak pernah lagi ada orang yang memasuki ruangan itu. Di dalamnya hanya ada tumpukkan cat minyak, kertas kanvas putih yang belum digunakan dan lukisan-lukisan yang tertutup kain putih.

Benaknya menari-nari seolah mengingat kenangan yang terjadi di ruangan itu.

"Kau harus melihat lukisan pertamaku yang selesai", ucap Adam saat dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

"Coba kulihat".

Tangan Adam menarik kain putih yang menutupi lukisannya. Lukisan itu didominasi warna-warna gelap. Lukisan dengan para narapidana dibalik jeruji. Kulit mereka bahkan hampir menyatu dengan jeruji besi. Lukisan yang selamanya menggantung di dinding besar milik Malik di dalam benaknya hingga kini.

Rain on Me, SingaporeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang