Hari sudah hampir gelap. Matahari berwarna lebih jingga di pelupuk mata Hawa. Matanya berkaca-kaca tapi ia berusaha menahan semburan tangisnya yang membuat pipinya bergetar tak keruan. Tangan dan kakinya terikat tali sampai-sampai kulitnya memerah dan meninggalkan bekas sayatan. Kulit pergelangan tangannya terlihat membuka dan mulai menempel pada tali berwarna putih yang Umar rekatkan ke kedua tangannya. Ia berbaring di kursi penumpang di belakang, sedangkan Umar ada di balik kemudi melaju di tengah aspal legam.
Suara ponsel Umar berbunyi, ia lalu mengaktifkan handsfree dan menerima telepon. Hawa memperhatikan, Umar merapihkan kemejanya dan berusaha duduk tegap sebelum mengangkat telepon. Lalu ia berbicara dengan nada yang begitu sopan.
"Selamat Sore Pak... ya, benar, aku sedang bersama Hawa saat ini... aku jamin dia tak akan berurusan lagi dengan kami atau Malik". Lalu ia berdeham dan diam mendengarkan pria yang berbicara di telepon. "Apa maksdunya? Malik tak lagi ada Villa?", ia mendengar dengan saksama lagi. "Aku sedang dalam perjalanan menuju ke tempat dimana Hawa menyimpan foto yang diambilnya dariku, segera setelah aku membereskan urusan dengannya aku akan ke sana... baik pak". Telepon dimatikan.
Umar melirik dan menyeringai. Hawa memejamkan matanya. Entah ia bisa keluar dari kondisi ini atau tidak. Ia pun tak bisa minta tolong pada siapa pun. Tapi, Hawa akan punya kesempatan kalau ia berhasil meyakinkan Umar lokasi tempat ia menyimpan foto adalah di tempat umum.
"Jadi, kau menyimpannya di mana? Sebaiknya cepat katakan sebelum aku membuangmu di tengah jalan", ancam Umar tanpa menoleh.
"Aku memberi foto itu pada seorang teman, dia sedang menunggu di Merlion Park saat ini".
"Aku harap kau tak coba membodohiku".
Hawa tak menjawab. Ia tak sadar karena sudah sejak tadi matanya berkaca-kaca dan kini perlahan sebutir air mata mengalir keluar dari kelopak matanya dan membasahi kursi penumpang. Ia ketakutan. Bukan hanya mengkhawatirkan dirinya sendiri tapi juga ia memikirkan Ibrahim dan Malik saat ini. Ia memejamkan mata dan berusaha menahan perih dalam dadanya.
"Dimana Ibrahim?", tanya Hawa lemas.
"Kau mengkhawatirkannya sekarang?", nada bicara Umar semakin menyebalkan.
"Kau tak meninggalkannya di pinggir jalan bukan? Apa kau bahkan pantas menyebut dirimu calon ayah tapi kau begitu tega memperlakukan seorang anak kecil dengan begitu kejam?", kening Hawa mengernyit menahan air mata.
"Kau sekarang ingin menjelek-jelekkanku? Apa pedulimu tentang Ibrahim? Dia bahkan bukan anakmu atau bagian dari keluargamu, mengapa kau repot-repot khawatir tentangnya?".
"Lalu siapa yang akan mengkhawatirkannya? Dia kehilangan ayah dan ibunya karenamu", Hawa menyembunyikan wajahnya yang kini sudah terisak.
"Sungguh, kalian semua benar-benar cocok untuk memainkan opera sabun", Umar memutar bola mata sambil menegakkan kembali pundaknya.
"Apa kau tak malu pada Malik? Dia memperlakukanmu begitu baik tapi kau membalasnya seperti ini".
Raut wajah Umar yang tadinya tersenyum tersungging mulai memudar dan bergerak melemas. Sorot matanya mulai dalam, seolah ia membayangkan berhadapan dengan Malik dengan semua rahasia yang telah terbongkar. Dalam hatinya ia tau bahwa Malik akan kecewa, tapi mementingkan perasaan orang lain bukan hal utama yang harus ia pikirkan saat ini. Ia lalu mengerjap dan kembali fokus ke jalanan, tatapannya kembali berubah dingin.
"Sebaiknya kau diam, kau tak mengenal Malik atau pun aku jadi kau tak tau apa-apa tentang kami berdua".
Hawa menelan ludahnya dan menarik napas. Ia tak menggerakkan lidah dan bibirnya lagi untuk berdebat dengan Umar. Ia diam. Dalam diamnya ia hanya berdoa, semoga tak ada hal berbahaya yang akan terjadi padanya atau kedua orang yang terus terbayangkan dalam kepalanya, Malik dan Ibrahim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on Me, Singapore
RomansaSetelah kehilangan sang kakak, hidup Malik Mahendra jadi hampa meski ia adalah seorang businessman Singapura yang sukses di usia muda dan berasal dari keluarga konglomerat yang popular di negara itu. Sampai suatu hari, seorang anak laki-laki datang...