Ring tinju, sandsack boxing, pajangan piala kejuaraan Muaythai, deretan boxing gloves, foto-foto seorang anak dengan pelatih berpakaian serba hitam menghiasi ruangan gelap itu. Satu-satunya cahaya yang masuk adalah dari ventilasi yang mempersilahkan cahaya bulan masuk ke dalam. Suara sandsack boxing yang terus-menerus dipukul menggema di seluruh ruangan.
Keringat membasahi tubuh Jiazen. Otot-ototnya yang keras memperlihatkan bentuk sempurna saat ia tak menggunakan baju. Ia berhenti memukul dan duduk di pinggir ring tinju. Punggungnya disandarkan pada pembatas ring tinju yang membuat tubuhnya terpantul-pantul.
Seketika derapan langkah terdengar dari luar ruangan. Pintu terbuka dan membuat cahaya dalam ruangan itu semakin banyak. Pria-pria dengan bayangan yang lebih tinggi dari pintu memasuki ruangan. Jas hitam, kacamata hitam, sepatu hitam dan rambut yang dicat dengan berbagai warna menjadi ciri-ciri yang sama diantara mereka.
“Masuklah”, ucap Jiazen dengan santai.
“Kami sudah lengkap”, salah satu di antara mereka membuka pembicaraan.
Pria-pria itu berdiri di hadapan Jiazen yang sedang melap keringatnya dengan handuk. Satu per satu mereka menelan ludah menatap Jiazen yang tak bersuara lagi. Keringat mulai memenuhi pelipis mereka. Kaki dan tangan mereka bergetar saat Jiazen mulai berdiri dan menatap mereka.
Jiazen berdiri di hadapan salah satu dari mereka. Ia harus mendongak untuk bisa bertatapan langsung. Tubuhnya tak jauh lebih tinggi atau pun besar dari mereka. Pria yang ditatap tak sama sekali menunduk untuk membalas tatapan Jiazen. Di balik kacamata hitamnya ia menatap ke kejauhan dan berusaha menghindari tatapan yang bagai siap menerkamnya itu.
“Bukannya sudah kukatakan sebelumnya, jangan sampai kalian menyentuh atau merusak apa pun di tempat itu?”, tangan Jiazen menarik kacamata si pria dan melemparnya ke sudut ruangan sampai terbelah dua.
“Kami minta maaf bos!”, mereka menjawab bersamaan.
Jiazen mendengus, “Kalian tau kan kenapa aku repot-repot panggil kalian ke sini?”.
“Kami akan menerima hukumannya, apa pun itu”, si pria yang ditatap menjawab dengan tegas.
“Posisi!”, teriak Jiazen berjalan menjauh.
Tanpa kata-kata lagi, para pria menundukkan kepala menyentuh lantai. Kaki mereka tetap menapak pada lantai, punggung terangkat ke atas dan kedua tangan menyatu di belakang punggung. Kepala mereka satu-satunya yang menahan berat tubuh mereka, karena itu satu per satu wajah mereka mulai memerah menahan rasa sakit yang perlahan muncul di sekujur tubuh mereka.
“Mulai sekarang, kalian tak perlu datang menagih di sana. Aku akan pergi sendiri menagihnya”, ucap Jiazen yang menyalakan sepuntung rokok sambil berjalan bolak-balik di depan para pria.
“Baik bos!”, jawab mereka serentak.
“Hitung sampai seribu baru kalian boleh keluar dari ruangan ini. Ingat, aku punya CCTV jadi jangan berusaha membodohiku”, Jiazen menunjuk CCTV di sudut ruangan.
“Baik bos!”.
Jiazen meninggalkan mereka. berjalan keluar ruangan dan menutup pintu yang lalu mengubah ruangan menjadi gelap sempurna.
Beberapa menit kemudian, Jiazen duduk di toko di lingkungan Little India. Toko itu sudah tutup, ia bersama asisten pribadinya Lee, mereka menunggu menatap pintu toko Baba yang juga tertutup rapat. Asistennya membantu menyalakan korek api dan mendekatkannya pada puntung rokok yang sudah menempel di antara bibir Jiazen. Tatapannya tajam. Seolah pintu Baba hampir saja roboh dengan sinar matanya.
“Aku rasa mereka sudah tidur, jadi tidak ada gunanya menunggu di sini”, ucap Lee sambil memasukkan korek api ke saku jasnya.
“Kau pikir aku duduk di sini berharap Hawa akan keluar?”, Jiazen melirik Lee kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on Me, Singapore
RomansaSetelah kehilangan sang kakak, hidup Malik Mahendra jadi hampa meski ia adalah seorang businessman Singapura yang sukses di usia muda dan berasal dari keluarga konglomerat yang popular di negara itu. Sampai suatu hari, seorang anak laki-laki datang...