Bunyi sirene menggaung di halaman depan, bahkan terdengar nyaring di telinga Lee yang duduk menegang di depan meja seorang polisi. Ruangan itu kecil. Hanya ada tiga meja yang dua diantaranya di tempati oleh polisi berbadan kekar dengan setelan biru tua yang ditutupi jaket kulit. Salah satu dari mereka—polisi dengan pakaian ketat yang menonjol dari balik jaketnya— tengah menatap Lee dengan tatapan meragukan. Di tangannya kini ada dua lembar foto Adam yang bersimbah darah. Sesekali ia melirik wajah Lee yang celingak-celinguk tak berdaya di antara kedua foto.
Lee mengusap telapak tangannya yang berkeringat ke bagian celana di atas pahanya. Kepalanya yang botak plontos mengalirkan keringat sampai ke pinggir pipinya. Padahal ruangan kecil itu dialiri udara dingin dari AC di sudut ruangan. Tetap saja Lee merasa panas tubuhnya yang gugup tak berhasil untuk diredam udara buatan itu.
"Jadi kau tak tau nama pria yang ada di foto ini?", alis polisi itu terangkat heran.
Lee mengangguk.
"Lalu kau ingin aku percaya dengan laporanmu?".
"Seseorang dalam bahaya saat ini", ucap Lee lirih.
"Oke, mari kuperiksa tentangmu terlebih dahulu", Polisi itu beralih ke layar laptop yang menyala di depannya. "Namamu Lee dan kau tinggal di area Chinatown, benarkan?", tangannya sibuk mengetik.
"Kurasa kau hanya perlu mencari informasi tentang pria yang ada dalam foto itu, tak perlu repot-repot mencari informasi tentangku".
"Aku akan mencarinya, jika tau tentangmu terlebih dulu. Aku akan tau apa kaitanmu dengan pria di foto ini".
"Itu sangat tak masuk akal", Lee mendengus kesal.
"Kau yang lebih tak masuk akal. Lagipula, darimana kau mendapat foto ini?".
"Sudah kukatakan temanku memberi foto ini dan berkata bahwa aku harus membawa kalian para polisi ke Villa Mahendra".
"Sudah kuduga!", Polisi itu menepukkan tangannya keras. Ia berdiri, menunjuk Lee dan berkata, "Kau kaki tangan rentenir bukan? Kau yatim piatu dan direkrut oleh para rentenir itu kan?".
Lee tertegun, bola matanya melotot dan merasa disudutkan. Wajahnya terangkat gugup menatap polisi itu. "Kami tak seburuk rentenir yang kau pikirkan, kau bisa memeriksa buku keuangan kami dan kami tak menarik bunga sebesar yang ditarik oleh Bank negara ini".
"Oh, ya? Lalu kau mau aku percaya dengan semua ucapanmu?".
"Sudah kukatakan seseorang dalam bahaya saat ini. Memperburuk keadaan dengan menginterogasiku malah membuat nyawa seseorang akan melayang. Kau seorang polisi bukan?".
Polisi itu mengangkat dagunya tinggi dan berpikir. Ia menurunkan jemarinya dan menatap rekan kerjanya yang duduk santai menyimak di meja lainnya.
"Kau percaya dengan pria ini? Bukankah statusnya saat ini bahkan bisa berubah jadi tersangka".
"Entahlah, kau sudah cek siapa pria di dalam foto itu?".
"Kurasa lokasi ini bukan di Singapura, mungkin saja di jalan poros Malaysia?".
"Kalau begitu hubungi Kepolisian di sana".
"Baik, akan kucoba".
Mereka kini sibuk dengan tumpukkan kertas di depan meja mereka dan mengacuhkan Lee. Lee menatap mereka memburu. Pahanya bergerak ke atas dan ke bawah di tempat duduk. Ia menggigit ujung-ujung jari jempolnya sambil melirik pada jam. Betapa ia berharap kedatangannya tak akan terlambat di Villa itu.
***
Tangga setinggi satu meter yang dipanjangkan oleh Linda kini berdiri bersandar di dinding di bawah jendela ruangan tempat Malik di kurung. Tangga itu tak cukup tinggi untuk membantu Malik turun.
Linda terus mendongak menatap tangan Malik yang berusaha memotong besi-besi kurus yang menjulang di antara jendela kaca dan pijakan jendela. Suara besi terpotong itu cukup bising dan Linda terus merasa was-was kalau saja para penjaga di sekitarnya mendengar.
Lima menit kemudian, besi itu terpotong. Meski tak seluruh besi yang menutupi jendela bisa Malik potong dengan alat apa adanya yang diberi oleh Linda, setidaknya ia membuat potongan berupa jalan tubuhnya untuk keluar.
"Hei, kurasa ini berhasil", bisik Malik menelengkan kepalanya keluar di antara potongan jeruji besi.
"Apa kau yakin bisa turun dari sana?", Linda mengambil langkah mendekat untuk memegang ujung tangga agar tak goyah.
"Aku berusaha", setengah badan Malik sudah berada di luar jendela.
Kakinya bergerak-gerak berusaha mencari pijakan tangga untuk dituruninya. Untung saja tubuh Malik cukup tinggi, jadi kakinya berhasil memijak pada permukaan tangga. Ia menunduk dan melihat ke bawah, ke tanah yang dipenuhi bebatuan putih dari pantai di dekat Villa ini. Saat kakinya mantap menginjak satu anak tangga teratas, ia memegang pada jeruji besi untuk berusaha mengeluarkan sisa tubuh bagian atasnya. Ia kini menuruni anak tangga satu per satu.
Tiba-tiba, suara klakson begitu riuh terdengar dari luar pagar. Malik berhenti di tengah tangga, mengangkat kepala melihat di balik pagar dengan mata melotot dan degup jantung yang tak keruan. Ia melihat ada banyak mobil di sana, semuanya adalah van hitam yang keseluruhan mobilnya mengeluarkan bunyi klakson. Kini matanya beralih ke bagian lain untuk melihat para penjaga yang terbangun. Napasnya memburu, ia tak ingin ketahuan dan dikembalikan lagi ke ruangan itu jadi ia segera menuruni tangga sampai ke anak tangga terakhir.
Para penjaga terlihat sibuk berlari menuju ke pintu pagar. Sementara Ishaq dari balik ruang tengah villa mengintip pada jendela kaca besar ke bagian pagar. Ia menyipitkan matanya dan bertanya-tanya siapa yang datang ke villa sore ini.
"Hei, cepat merunduk!", sahut Malik pada Linda sambil bersembunyi di balik semak yang memanjang di depan gedung.
"Aku harus melipat tangganya kembali", bisik Linda sambil menundukkan kepala di balik semak di samping Malik.
"Kau bisa melakukannya nanti, kita harus segera keluar dari sini. Ayo berjalan ke pagar, sebelum kita ketahuan", Malik mulai jalan mengendap mengikuti barisan semak yang menuju ke pagar.
Sebelum berhasil mencapai pagar, pintu pagar putih yang menjulang tinggi itu terbuka. Para pria berpakaian hitam dengan tubuh yang rata-rata sama tinggi dan sama besar menghambur masuk ke dalam. Mereka berlari dan kini berhadapan dengan para penjaga Ishaq. Jumlah mereka hampir sama banyak. Mereka saling beradu tatap.
![](https://img.wattpad.com/cover/300693018-288-k39527.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on Me, Singapore
RomanceSetelah kehilangan sang kakak, hidup Malik Mahendra jadi hampa meski ia adalah seorang businessman Singapura yang sukses di usia muda dan berasal dari keluarga konglomerat yang popular di negara itu. Sampai suatu hari, seorang anak laki-laki datang...