Sewaktu Ibrahim masih tinggal di rumah nenek, ia selalu berbaring di depan teras sendirian di sore hari. Matanya tak pernah lepas menatap langit. Sesekali ia mendapati langit begitu cerah, warna biru terlihat di seluruh penjuru sedangkan awan-awan bagaikan titik-titik kecil yang bergantungan di sana. Lain hari, ia berbaring dan mendapati langit begitu putih. Awan menutupi seluruh permukaan langit dan tiba-tiba juga berubah menjadi hitam sampai mengeluarkan bunyi gemuruh. Kalau suasana sudah gelap dan udara menjadi dingin, Ibrahim tak berpikir panjang untuk masuk dan menyelimuti dirinya.
Semenjak pindah di rumah Malik, Ibrahim tetap menikmati waktunya menatap awan. Tapi, kadang merasa awan di Singapura begitu berbeda. Atau mungkin karena ia menatapnya dari tempat yang tinggi sehingga ia merasa begitu dekat dengan langit. Warnanya tetap biru, dan beberapa hari ini langit di Singapura selalu hitam. Kalau langit berubah gelap dan hujan mulai turun, Ibrahim mengalihkan pandangannya ke bawah dan menatap bangunan-bangunan tinggi yang terlihat bak miniatur dari tempatnya berdiri. Ibrahim, tak berhenti menatap jajaran gedung ditemani langit yang mulai berubah jingga karena matahari mulai terbenam.
“Apa bangunan bundar yang tinggi itu?”, tunjuk Ibrahim di balik kaca jendela.
“Oh, itu Singapura Flyer. Bianglala terbesar di negara ini”, Malik duduk menghadap televisi dan sibuk memandangi laptop.
“Apa yang dilakukan bianglala?”, Ibrahim masih menatap terpesona keluar jendela.
“Dia membawamu naik dengan gondola kecilnya”, Malik tak mengalihkan pandangannya dari layar.
“Apa kau ingin ke sana?”, Hawa muncul dari balik tembok membawa sepiring potongan buah-buahan.
“Apa kita bisa ke sana?”, mata Ibrahim berkerling penuh harap.
Hawa meletakkan piring itu di samping laptop Malik. Malik terkesiap. Ia beralih menatap piring berisi potongan buah dan berpindah menatap Hawa yang tersenyum lembut padanya. Seketika ia membuang wajahnya dan menatap ke kiri dan kanan. Hawa mengerutkan kening menatap Malik yang bertingkah aneh.
“Kau dengar permintaan Ibrahim? Dia ingin pergi ke sana”, Hawa duduk di seberang Malik.
“Aku dengar, tapi aku tak punya waktu”, matanya kembali fokus ke layar laptop dengan ekspresi datar.
“Tapi, aku juga ingin naik mobil-mobilan besaarr, yang melaju tinggi dan berputar-putar! Aku melihatnya di televisi!”, teriak Ibrahim yang kini berdiri di depan televisi memperagakan mobil-mobilan di kepalanya.
Hawa terkekeh dengan tingkah Ibrahim. Malik yang kini menyandarkan punggungnya di sofa, mendesah begitu keras. Meja rendah yang memisahkannya antara Hawa tak begitu lebar jadi posisi mereka juga cukup dekat. Malik menutup matanya dan kembali menatap Hawa dan Ibrahim yang sibuk tertawa bersama.
Televisi di hadapannya yang di belakangi Hawa memperlihatkan pantulan dirinya. Di hari ia tak masuk kerja seperti ini, Malik biasanya hanya ditemani suara televisi. Dan meski suara orang-orang di televisi mengisi ruangan di apartemennya, ia tetap merasa sepi. Tapi, hari ini berbeda. Kedatangan dua orang saja membuat suasana begitu hidup di apartemen. Atau lebih tepatnya, bukan 'hidup' tapi 'hiruk'. Seolah-olah Malik merasa dua orang ini membawa seember air ke tanaman yang kering. Juga membawa warna-warna pada kanvas putih yang berharap segera diwarnai.
“Kalau kau sibuk, aku bisa membawa Ibrahim sendiri ke sana. Aku juga perlu izin darimu untuk membiarkan Ibrahim menjadi murid di TK tempatku bekerja”, ucap Hawa mengunyah potongan buah melon.
Malik ikut mengambil satu potong apel dari sana dan melekatkan sikunya pada ujung meja.
“Aku akan menemani kalian pergi ke tempat yang Ibrahim mau”, bisik Malik pelan.
![](https://img.wattpad.com/cover/300693018-288-k39527.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on Me, Singapore
RomansaSetelah kehilangan sang kakak, hidup Malik Mahendra jadi hampa meski ia adalah seorang businessman Singapura yang sukses di usia muda dan berasal dari keluarga konglomerat yang popular di negara itu. Sampai suatu hari, seorang anak laki-laki datang...