10 - Weekend Bertiga

18 7 0
                                    

Angin bertiup kencang. Hawa menggenggam tangan Ibrahim lebih erat. Mereka berjalan terkesima memasuki gedung Singapore flyer saat Malik memimpin jalan.

Ada taman di tengah gedung dengan pohon di tengahnya yang menjulang tinggi. Saat terus berjalan mereka sampai pada loket penjualan tiket. Begitu selesai membeli tiket, mereka naik ke lantai dua bersama. Ibrahim meloncat-loncat bahagia karena sudah tak sabar. Kepalanya mendongak menatap flyer berputar berlatar belakang langit biru.

Mereka berjalan menuju flyer. Ruangan berubah gelap. Terdapat beberapa lampu warna-warni yang di pasang di dinding koridor tempat mereka lewat. Saat berjalan lebih jauh, mereka bisa melihat setitik cahaya di ujung lorong. Mereka keluar dari ruangan gelap tersebut dan berada di atas ruangan terbuka.

Ibrahim mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Semakin dekat mereka, semakin terlihat jelas kerangka-kerangka besar Singapore flyer yang di tiap sudutnya terdapat kapsul-kapsul berbentuk bulat memanjang.

“Perhatikan langkahmu”, tangan Hawa kembali menggenggam Ibrahim, menuntunnya masuk ke dalam kapsul.

“Wahh, apa kita akan segera naik?”, pekik Ibrahim.

“Tentu saja”, kata Malik pelan.

Malik berdiri di sudut kapsul. Ia berdiri menghadap ke luar jendela, begitu pula Hawa dan Ibrahim yang berdiri di sampingnya. Beberapa orang lainnya ikut naik bersama mereka. Pelan-pelan, kapsul mereka mulai bergerak naik. Pemandangan Kota Singapura 360 derajat membentang di hadapan mereka.

Marina bay sands, Helix bridge dan Merlion Park bisa Hawa soroti dari tempatnya berdiri. Ibrahim mulai bergerak ke satu sudut ke sudut lainnya. Orang lain yang berada di satu kapsul bersama mereka mulai heboh dengan tingkat Ibrahim yang begitu lucu karena terlalu bersemangat. Hawa tertawa dan kembali menikmati pemandangan. Namun, Malik berdiri di sampingnya dan mengganggu waktu sendirinya.

“Kau pernah ke sini sebelumnya?”, tanya Malik tanpa berpaling dari pemandangan di luar.

“Tidak, aku tak punya waktu dan tidak punya cukup uang”, Hawa mendengus dan terkekeh pelan.

“Pemandangannya indah”, Malik tersenyum.

“Ya, Singapura selalu indah. Terlalu indah untuk orang-orang sepertiku”.

“Orang sepertimu? Memangnya kenapa denganmu?”, mengangkat bahu bingung.

“Kau tau, orang yang tak biasa hidup mewah”, terkekeh.

“Selalu ada acara untuk menikmati Singapura tanpa harus bermewah-mewahan. Tanpa harus mengeluarkan banyak uang”.

“Lihat siapa yang bicara”.

“Oh, percayalah. Aku tak hidup semewah yang kau pikir. Semuanya hanya kudapatkan karena ayahku, tapi aku dan Adam selalu menikmati hal-hal kecil sederhana tanpa kemewahan”.

“Kau harus berterima kasih pada ayahmu. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Apa dia orang yang lebih sibuk daripada kau?”.

“Sangat sibuk. Ia mengurusi semua urusan perusahaan dan juga urusanku”.

“Apa itu artinya dia perhatian padamu?”, Hawa mengangkat alis.

“Entahlah, tapi hal yang kau pikir ‘perhatian’ itu justru membuat Adam pergi dari hidupnya selamanya”.

“Maksudmu?”, Hawa menatap Malik penuh tanda tanya.

“Dia terlalu mengontrol semuanya tentang kehidupan kami. Adam tak pernah ingin menjadi manager atau direktur perusahaan kami seperti yang ayah mau. Tapi, setiap langkah yang Adam ambil untuk berusaha keluar dari rencana ayah, semuanya gagal dan itu karena ayah”, Malik mendesah. “Dia ingin hidup sesuai keinginannya dan memutuskan meninggalkan ayah…" Ucap Malik menunduk. "dan, aku”, lanjutnya.

Rain on Me, SingaporeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang