14 - Umar is Gonna be a Dad

13 5 0
                                    

Pendingin ruangan di kamar Ibrahim mengeluarkan bunyi dengung. Hawa yang duduk bersama Ibrahim di meja belajar segera berdiri dan meraih remote yang tertempel di dinding. Ia mematikan pendingin ruangan. Bukan karena suaranya mengganggu, tapi dari jendela kamar yang terbuka lebar, mulai muncul titik-titik hujan yang singgah di kaca jendela. Ibrahim pun mulai menggigil kedinginan.

Tangan Ibrahim memegang pensil dengan genggaman erat. Goresannya di atas kertas membentuk beberapa huruf yang tengah dipelajarinya. Ia berusaha mengingat bentuk huruf kapital dan huruf kecil. Hawa juga ikut membantunya membedakan huruf-huruf tersebut. Saat Ibrahim mulai memejamkan mata dan mencoba mengingat, Hawa melirik pada tas Ibrahim di atas kasurnya. Tas mungil yang ia bawa sejak datang dari Malaysia.

Lukisan yang ia gambar tempo hari di TK mencuat dari dalam tas yang tak tertutup itu.

"Kau belum memberi lukisan itu pada pamanmu?", tanya Hawa menopang dagu di atas meja.

"Aku tak tau harus bilang apa pada paman. Mungkin dia tak suka gambarku".

"Dia pasti menyukainya, coba saja berikan".

Tok...tok...

Pintu kamar terbuka, mengeluarkan suara gesekan lembut. Malik menelengkan kepala muncul dari pintu dan mengintip mereka. Senyum Hawa tersungging menatap Malik yang bertingkah lucu. Malik ikut tersenyum sampai matanya menyipit. Ia berjalan bergabung bersama Hawa dan Ibrahim dan duduk di kasur.

Ibrahim sontak menarik tasnya sebelum Malik berhasil duduk. Ia melindunginya seolah tak ingin Malik mengambilnya. Malik mendengus tapi tak mempermasalahkan hal itu.

"Kalian sedang apa?", tanya Malik ceria.

"Aku mengajarkannya huruf alfabet dan Ibrahim mencoba begitu keras untuk bisa menuliskannya dalam sekali coba", jelas Hawa bersemangat.

"Kau sangat rajin", menyentuh bahu Ibrahim yang sudah kembali duduk di samping Hawa.

"Ehm, aku rasa Ibrahim ingin memberimu sesuatu", mata Hawa berpindah pada Ibrahim yang memeluk tasnya erat.

Pelukan Ibrahim pada tasnya semakin erat. Ia menunduk dan menatap ujung kertas gambarnya yang muncul dari sana. Lalu mendongak menatap Malik yang penuh pertanyaan padanya. Tangannya meraih kertas itu perlahan. Ragu-ragu ia mengulurkan kertas itu pada Malik yang mengikuti arah tangannya. Malik menerima dengan senyuman.

"Wow, kau yang menggambar ini Ibrahim?", menatap gambaran itu berbinar.

Ibrahim mengangguk sementara Hawa tersenyum bangga.

"Bisa kau jelaskan pada paman siapa saja yang ada pada gambar itu?", Hawa mengangkat alis dengan senyum yang awet.

"Ini aku, paman, bibi Hawa, Baba Ahmed dan Ummi Shafiyah", tangan Ibrahim bergerak sesuai figur dalam gambarnya.

Tidak ada lagi suara. Malik bergeming. Kedua tangannya memegang lembut ujung kertas dan matanya masih terpaku pada gambaran itu. Perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Gambar dari seorang anak berusia lima tahun yang hanya dibuat dengan beberapa goresan pensil warna itu membuat matanya berkaca-kaca.

Tentu saja, itu gambar sederhana sebuah keluarga. Tak ada yang spesial. Tapi, bagi Malik yang selalu berharap bisa hidup dengan keluarga utuh menganggap hal itu sama sekali tak biasa. Seulas senyum bahagia terukir di wajahnya saat ia mengangkat wajah dan menatap Hawa serta Ibrahim bergantian.

"Aku juga punya sesuatu lagi untuk paman", Ibrahim meraih sebuah amplop besar berwarna cokelat yang tersegel dan terlipat dalam tasnya.

Amplop itu sudah cukup tua dan terlihat kusam. Ada seutas tali yang terlilit dan saat Malik menerimanya, ia bisa merasakan lembaran-lembaran kertas tebal ada di dalamnya. Matanya yang tadinya berkaca-kaca berubah heran. Kerutan di dahinya muncul perlahan.

Rain on Me, SingaporeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang