Bus berwarna biru berhenti di salah satu halte. Tetesan air hujan bercucuran dari atap halte. Meneteskan beberapa bulir ke hijab Hawa saat ia berusaha berlari turun dari bus untuk berteduh di bawah halte. Matanya tertuju pada kerlap-kerlip lampu ungu dan kuning di atas jalanan. Lampu-lampu yang membentuk ukiran khas India itu membuatnya tersenyum meski tangannya tengah sibuk menyapu permukaan jaketnya yang semakin lembap.
Hawa menyusuri jalan-jalan kecil. Tempat itu bukan terbilang kawasan mewah, lampu-lampu dipasangi di setiap penjuru jalan membuat kawasan itu tampak ceria. Beberapa toko masih buka meski hari sudah cukup larut. Pemilik toko menjajaki jualan karpet, koper, tas tenteng dan berbagai barang khas India dan negara timur tengah lainnya. Sebagian orang yang tinggal di kawasan ini adalah mereka yang berdarah India, Pakistan dan negara timur tengah. Banyak dari mereka yang memilih menjadi pedagang.
Mayoritas penghuni kawasan Little India tentu saja adalah mereka yang beragama muslim. Itulah yang membuat Hawa merasa nyaman selama tinggal di tempat ini.
Orang-orang dari negara lain seperti Indonesia, China, Amerika dan Eropa terlihat masih sibuk berjalan-jalan di sekitar Kawasan. Beberapa menenteng tas plastik belanjaan yang penuh dan beberapa tengah menawar harga di toko-toko souvenir. Pusat perbelanjaan paling murah dan terkenal di Little India adalah Mustafa yang letaknya tepat di Syed Alwi Road. Toko itu selalu ramai. Di sekitarnya juga ada toko-toko souvenir yang menjual berbagai oleh-oleh khas Singapura dengan harga yang ramah.
Tempat tinggal Hawa tak jauh dari toko itu. Sebelum masuk ke Syed Alwi Road, terdapat sebuah taman besar di samping bangunan-bangunan toko. Saat waktu Maghrib, para bapak-bapak yang tinggal di Kawasan Little India akan melaksanakan shalat berjamaah di sana. Mereka menggelar karpet atau sejenisnya di atas rumput dan mulai melaksanakan shalat. Beberapa pengunjung islam juga ikut melaksanakan bersama, meski agak sulit untuk para perempuan muslim untuk ikut berjamaah karena tempat wudhu khusus wanita dan mukenah tidak disediakan di taman itu.
Hawa menghentikan langkahnya. Tatapannya berubah sendu saat melihat jualan Baba Ahmad penuh dengan tanah kering. Dugaan satu-satunya adalah beberapa orang datang merusak jualan Baba Ahmad lagi. Baba Ahmad dengan tubuh sedikit gempal, kulit gelap dan kumis tipis tak pernah kehilangan rona bahagia di raut wajahnya. Sementara Hawa? Ia tertunduk dan mulai mendekati Baba Ahmad dengan perasaan bersalah. Baba Ahmad masih sibuk melap plastik pembungkus koper yang becek itu. Ia tersenyum saat matanya bertemu dengan mata Hawa.
"Kenapa pulangnya larut malam begini?", Baba Ahmad memulai percakapan dengan nada lembut.
"Apa mereka datang lagi?", Hawa dengan perasaan berat menepis pertanyaan itu.
"Tenang saja, mereka tak berani macam-macam lagi".
"Hawa akan segera melunasi semua hutang-hutang Hawa, jadi kejadian ini pasti tak akan terulang lagi. Maafkan Hawa", Hawa menunduk menatap sepatunya.
"Hei, Subhanallah, jangan seperti ini Hawa. Kau pasti tau Baba tidak pernah bersedih hanya dengan kejadian seperti ini. Kau jangan sampai menyalahkan dirimu sendiri hanya karena hutang ibumu. Ini bukan salahmu", tangan Baba Ahmad menyapu punggung Hawa pelan.
"Baba sudah terlalu baik pada Hawa, Hawa dibiarkan tinggal di sini, dibiarkan makan bersama Baba dan selalu diperlakukan baik tapi Hawa membalasnya dengan perlakuan buruk".
"Sudahlah Hawa, ini bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Kau akan selalu kami anggap sebagai anak dan jangan pernah berpikir sekali pun bahwa kau adalah beban kami", tutur Baba Ahmad sambil merangkul Hawa dalam pelukannya. "Sebaiknya kau masuk dan temui Ummi, dia butuh bantuan dengan lipatan pakaian yang menumpuk", sambung Baba dengan suara kekehan kecil.
Hawa memaksakan secuil senyuman saat ia menatap Baba Ahmad dan kembali melangkah masuk. Jalan masuk ke dalam rumah dipenuhi dengan berbagai tumpukan barang yang dijual Baba Ahmad. Toko karpet dan berbagai tas ini sudah berdiri selama dua puluh tahun. Baba Ahmad sudah tinggal di Singapura sejak orang tuanya bermigrasi ke sini. Karpet-karpet yang ia jual adalah barang impor langsung dari Turki dan penghasilannya cukup untuk menghidupi keluarga mereka. Sayangnya, Baba Ahmad tak berhasil membesarkan seorang anak. Ia memiliki dua anak laki-laki, yang keduanya meninggal saat masih berusia lima tahun karena penyakit kronis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on Me, Singapore
RomanceSetelah kehilangan sang kakak, hidup Malik Mahendra jadi hampa meski ia adalah seorang businessman Singapura yang sukses di usia muda dan berasal dari keluarga konglomerat yang popular di negara itu. Sampai suatu hari, seorang anak laki-laki datang...