Tanaman soleiroli yang diletakkan Ummi di tengah meja ruang tengah terlihat mulai menguning. Ia mengambil semprotan air dan mulai menyempotkan cairan ke daun-daun mungil tanaman itu. Ruangan sudah gelap. Televisi yang biasa menayangkan drama kesukaan Ummi tidak lagi menyala. Hanya ada secercah cahaya dari lampu dapur yang tak pernah dimatikan oleh Ummi meski sudah malam. Begitu jarinya berhenti bergerak dan meletakkan semprotan di samping pot, ia menoleh ke jam dinding di atas televisi. Sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Keningnya berkerut, ia menunduk menatap dua tangannya yang saling bertaut di atas pangkuannya sendiri.
Pintu dari ruang tamu terbuka dan membuat suara yang cukup gaduh. Ummi menelengkan kepalanya, mencoba mengintip ke arah ruang tamu. Suara langkah kaki terseret terdengar mulai mendekat ke arahnya. Dari sisa cahaya lampu yang ada, wajah Hawa mulai terlihat saat ia melangkah masuk ke ruang tengah. Ummi tersenyum menatap wajah Hawa yang masih terlihat bercahaya meski hari sudah malam.
"Ummi belum tidur?", tanya Hawa yang ikut duduk di samping Ummi.
"Ummi khawatir karena kau belum juga pulang dari tadi", tangan Ummi kembali meraih botol semprotan.
"Aku baik-baik saja, jalanan masih ramai meski sudah hampir tengah malam jadi tak begitu berbahaya", Hawa meletakkan tas selempangnya di bagian sofa lainnya.
"Bagaimana pekerjaanmu? Apa Ibrahim baik-baik saja?".
"Ya, semuanya berjalan lancar. Ibrahim makan dan tidur dengan baik, tidak ada masalah sama sekali".
"Bagaimana dengan Malik?", tanya Ummi mengangkat alis.
"Hm, dia juga baik, kurasa".
Ummi terdiam. Ia meletakkan botol semprotan kembali di atas meja dan menggerakkan tubuhnya menghadap Hawa. "Hawa, apa kau tak berpikir untuk menikah dengan Malik?".
Tatapan Hawa berubah kaget. Rahangnya terasa kaku mendengar pertanyaan itu dari Ummi. Suasana di ruangan gelap itu menjadi lebih serius. Pelan-pelan Hawa menggerakkan kedua bola matanya menatap Ummi. Tatapan kaget yang seketika berubah sendu dan penuh makna itu saling beradu dengan Ummi. Tidak ada yang berbicara. Tapi, pembicaraan dua perempuan di tengah malam bisa menjadi begitu dalam hanya karena satu pertanyaan yang dilontarkan.
"Aku...tidak tau", jawab Hawa lalu menunduk.
Beberapa jam yang lalu ia masih berada bersama Malik. Setelah mengantar Umar ke parkiran dan memastikan Ibrahim telah tidur, Malik menghampirinya saat sedang mencuci piring. Langkah kecil Malik dari kamar tidur Ibrahim mulai membesar seolah ia ingin berlari menuju ke dapur saat mendengar bunyi air bergemerisik. Setelah Malik ada di sampingnya, Hawa bergeming dengan piring berbusa yang masih ada di tangannya.
"Apa Ibrahim sudah tidur?", tanya Hawa lanjut membilas piring.
"Ya", Malik mencoba mengambil spons cuci piring dari tangan Hawa. "Kau harus segera pulang, ini sudah malam dan aku takut kau akan membuat Baba dan Ummi cemas".
Hawa menarik tangannya agar Malik tak berhasil meraih spons itu. Mereka terlihat saling berebutan. Tubuh mereka bagai magnet yang sedang mencoba berdekatan tapi terasa sukar. "Aku akan pulang setelah membereskan ini".
"Tidak, biar aku saja", merentangkan tangannya di depan tubuh Hawa untuk meraih spons.
"Ini sudah hampir selesai".
Wajah Malik berada sangat dekat dengan wajah Hawa. Saat Malik merubah fokusnya ke wajah Hawa yang ada di ujung hidungnya, ia menatap wajah Hawa lekat. Wajah yang berubah memerah dan terdiam kaku itu membuatnya berhenti bernapas. Ia kembali menarik tangannya dan menjauh, membuat jarak antaranya dan Hawa. Hawa kembali ke posisinya di depan sink dan mengambil satu piring yang masih berminyak dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on Me, Singapore
Любовные романыSetelah kehilangan sang kakak, hidup Malik Mahendra jadi hampa meski ia adalah seorang businessman Singapura yang sukses di usia muda dan berasal dari keluarga konglomerat yang popular di negara itu. Sampai suatu hari, seorang anak laki-laki datang...