"Astaga, Fiony? Kamu kemana aja?" Adel melihat neneknya yang sudah menunggunya di teras rumah. "Sama Adel?"
"Tadi dia nyasar, Nek. Kecopetan pula."
"Kok bisa? Kamu gak papa? Ada yang luka gak?"
"Pengennya sih gitu. Biar mampus." Adel membalas sengit. "Untung gue cepet, kalau enggak udh jadi mayat kali lo."
"Adel!" Neneknya memukul lengan Adel. "Kamu ini bukannya di semangatin malah nakut-nakutin. Masuk dulu ke dalam yuk, nanti Nenek buatin teh hangat." Ucapnya terdengar canggung di telinga. Hampir setahun lamanya ia tidak menginjakkan kakinya ke rumah neneknya lagi. Sentuhan tangan dari neneknya seolah melumerkan es beku yang ada di dalam hatinya. "Jangan langsung pulang ya. Disini dulu, Nenek kangen."
Mereka semua masuk ke dalam. Tidak ada yang berubah disana. Lemari, sofa, lukisan dinding dan sebuah foto keluarga yang masih terlihat jelas di mata Adel. Ada Nenek, Kakek, Mama dan Papa Adel. Adel berhenti sebentar di depan lukisan itu dan memandangi. Ia seperti berjalan ke lorong waktu yang mengantarkannya ke detik-detik masa lalu.
"Nenek sengaja gak buang foto itu, biar kalau Nenek kangen bisa langsung liat" Adel berbalik dan melihat Neneknya berada di belakangnya sambil membawa baki berisi dua gelas teh hangat. "Kamu darimana aja? Nenek kangen tau. Nenek cuma punya kamu, kamu gak pernah kesini." Neneknya memeluk Adel erat-erat. Di ciumnya pipi itu dengan kasih sayang. "Adel tuh udah gede, Nek. Malu kalau dicium terus." Begitu alasannya setiap kali neneknya mencium Adel.
"Adel tuh malu kalau di cium nenek terus." Tiba-tiba Fiony nyeletuk. Membuat nenek melepaskan pelukannya dengan Adel.
"Nek, kata si mbak, teh nya habis." Fiony muncul dari balik pintu, terlihat segar setelah mandi.
"Hemm, emang dasar si mbak nih." Omelnya. "Yaudah nenek tinggal dulu ya ke belakang."
"Hape gue tadi hampir aja di rusakin tukang ojek itu." Fiony membuka percakapan.
"Terus?" Adel mengernyit. "Lo ngadu ke siapa? Tembok?"
"Dingin banget sih, Del?" Fiony bete. "Tapi, makasih ya, Del, udah mau bantuin gue tadi."
"Hari ini doang, besok lagi gak bakalan. Biar nenek gak khawatir mikirin lo."
"Iya deh iyaa."
"Minggir lo, gue mau lewat." Adel menggerakkan dagunya supaya Fiony memberikan jalan.
"Mau kemana?"
"Nelpon pacar. Gue ninggalin Ashel gara-gara lo tadi."
***
Ashel masih berada di depan meja belajarnya, sempat ingin memejamkan matanya namun gagal ketika mendengar bunyi ponselnya yang berdering. Tangannya reflek meraih benda itu dan melihat nama Adel disana. "Apaaa?"
"Bangun tidur?"
"Enggak."
"Serak gitu suaranya. Nangis gara-gara aku tinggal tadi?"
"Enggakkk."
"Boong."
"Aku lagi ngerjain tugas kamu, tiga nomor lagi selesai."
"Gak di kerjain juga gak papa, Shel. Niat banget. Gurunya paling marah doang kalau gak kumpul tugas, biasanya juga gitu."
"Tapi kan tadi kamu ngajak aku belajar bareng."
"Cuma alesan doang biar bisa berduaan sama kamu." Ucap Adel di balas Ashel dengan dengusan.
"Bilang dong, kan akunya gak usah repot-repot ngerjain."
"Ya maaf, ini lagi bilang."
"Yaudah, aku mau tidur. Ngantuk."
"Yaudah iyaa. Good night, pacar. Love you."
Ashel menggigit bibir bawahnya.
"Gak papa kalau masih malu-malu. Bakal aku tungguin sampai kamu bilang "love you too" tanpa paksaan."
Telfon terputus, meninggalkan bunyi tutt tutt yang masih tersisa di telinga. Ashel menatap layarnya yang sudah kembali ke layar kunci dan mendadak senyum samar.
***
Baru saja Adel meletakkan ponselnya di meja, sebuah notif pesan Watsapp muncul. Dari Aran.
"Del, lo dimana? Buruan ke diskotik sekarang."
Segera Adel bangun dari duduknya dan berpamitan ke neneknya. "Mau kemana?"
"Ada perlu, Nek. Nanti Adel kesini lagi."
"Yaudah, hati-hati. Jangan ugal-ugalan, jangan kebut-kebutan." Adel mengangguk geli mendengar kata-kata neneknya.
Adel segera memakai sepatu dan jaketnya lagi dan bersiap-siap keluar dari rumah sebelum akhirnya naik ke motor dan melajukan kendaraan itu membelah jalan raya kota Jakarta.
Sesampainya di diskotik, dia di sambut Aran.
"Darimana lo, Del?"
"Kenapa nyuruh gue kesini?"
"Liat tuh." Aran menggerakkan dagunya ke arah bartender, ada Ella yang sedang duduk dengan kepala menempel di meja bar. "Udah minum bergelas-gelas tuh, Del. Depresi gara-gara tau lo pacaran sama Ashel. Gue ajak pulang gak mau."
"Gila tuh anak." Adel geleng-geleng kepala.
"Coba lo bujuk. Siapa tau mau pulang. Kasian anak orang."
Adel mengangguk, dia lalu berjalan mendekati Ella yang kelihatannya hampir tidak sadar diri. "Eh mas, dia udah minum belasan gelas kok masih aja di suguhin? Cewek loh ini, kalau kenapa-napa gimana? Mau tanggung jawab?"
Bartender itu segera meminta maaf dan mengembalikan minuman yang semula ingin di suguhkan ke Ella.
Ella mengangkat kepalanya, melirik sesaat begitu dilihatnya sosok Adel di depannya lalu mendengus kesal dan tangannya menampar pipi Adel.
"Apa-apaan sih lo?" Adel menggeram dan mengusap pipinya yang barusan di tanpar Ella.
"Dasar kurang ajarr. Lo udah nolak perasaan gue, dan sekarang lo nanya kenapa?" Ella tertawa. "Mikir dong, Del. Gue udah ngejar elo, lo justru seenak jidat pacaran sama tuh cewek gak jelas." Ella geleng-geleng kepala kemudian kembali bersandar di meja bar.
Adel mengernyit. "Jatuh cinta itu bukan masalah penampilan, jatuhnya malah nafsu bukan cinta. Anak seumuran kita itu masih punya hormon yang tinggi. Lo cewek, Hargai diri lo sebagai cewek. Lo cantik, lo perawatan mahal kalau ujung-ujungnya buat gue, lo salah, El. Perawatan itu sebagai tanda kalau lo menghargai diri lo sendiri bukan karena gue."
Ella tertawa sinis. "Lo bisa ngomong gitu karena lo gak tau apa yang gue rasain sekarang, Del."
"Masa depan lo tuh masih panjang. Orang yg suka sama lo itu banyak bukan gue doang. Jangan di jadiin diri lo stuck di satu orang yang jelas-jelas gak bisa jatuh hati sama lo. Paksaan tuh cuma bisa bikin hasil akhirnya gak baik."
Ella mengangkat kepalanya, dia memberi isyarat ke bartender untuk menyeduhkan satu gelas minuman lagi namun di tepis oleh Adel. "Hargai dan jaga diri lo sebagai cewek, dengan begitu akan ada orang yang nantinya bener-bener menghargai perasaan lo dan bisa jagain lo." Adel menarik tangan Ella pelan. "Gue anter lo pulang."
"Enggak. Gue masih mau disini. Gue gak mau pulang."
Adel memajukan wajahnya. "El, dengerin gue, jangan ngerubah diri lo cuma buat memenangkan hati seseorang. Tetap jadi diri lo sendiri, dengan begitu lo bakal nemuin orang bener-bener sayang sama lo."
Ella menangis. Kata-kata Adel bukan memojokkan tapi juga menyadarkan cewek itu dari realita.
"Lo naik apa kesini?"
"Mobil."
"Gue anter pake mobil lo, biar nanti Kak Aran ngikutin gue pake motor gue dari belakang."
****
Soriiii belum ada momen uwuuu Ashadel ☺️