Tie, Try, & Tired

241 29 21
                                    

Aji menyandarkan tubuhnya yang masih mengenakan kemeja berwarna putih dan celana formal berwarna hitam pada permukaan dinding yang terletak di dekat pintu masuk ruang tidur Tuan Jayeng.
Hanya sepatu-nya saja yang sudah digantikan oleh sendal rumah, juga jas formal-nya pun sudah ia simpan sejak tiba kembali di Rumah Besar.

Kedua matanya masih mengawasi kesibukan Dokter Damaris Winanto, seorang Dokter langganan keluarga sejak dahulu sekali bahkan ketika dirinya baru saja mampu mengingat.
Seorang Dokter yang mengetahui rekam medis seluruh penghuni rumah ini termasuk sang Bunda dan kedua orang tua Lingga.

Aji memandangi wajah sang Ayah yang memang sudah tua, meng-amin-kan dirinya sempat sangat terpukul ketika harus kembali menyaksikan tubuh Beliau tidak berdaya di atas tempat tidur dan mengonsumsi obat lebih banyak dari biasanya.

Kepalanya menggeleng, mengenyahkan sebuah pikiran yang sangat keliru dan seharusnya tidak perlu timbul.

Ayah-nya akan sembuh, walau tidak secara total, namun ia sedang tidak ingin kembali kehilangan...

"Ayah sudah tua, Mas Aji..."

Satu kalimat itu lah yang pertama kali terdengar oleh Aji ketika ia menutup pintu kamar Tuan Jayeng dengan perlahan di belakang tubuhnya, hendak menghantarkan Dokter Damaris untuk pulang.

"Saya enggak meminta Mas Aji untuk pesimis, namun keadaan orang tua memang wajar sekali kalau semakin menurun, dan Ayah sudah masuk ke dalam fase tersebut. Apalagi selagi muda-nya, Beliau tidak begitu memperhatikan kesehatannya sendiri."

Aji tidak menjawab apapun. Ia memilih diam dan hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban bahwa dirinya mengerti dengan segala hal yang Dokter mereka sampaikan.

Pertemuan client, bisnis besar, meeting profit, dan segala macamnya akan selalu tersedia makanan berkolesterol tinggi, belum lagi minuman ber-alkohol, pastilah akan menjadi konsumsi rutin Ayah-nya selama ini.

"Mungkin Mas Aji bisa coba sampaikan kepada Mas Dyo, Mas Lintang, dan Lingga, agar apabila mereka memiliki waktu yang senggang bisa lebih banyak datang dan menengok kesehatan Ayah."

"Baik, Dok."

"Dan Mas Aji sendiri, selagi Ayah masih ada, coba tuntaskan segalanya yang belum sempat Mas Aji sampaikan seperti obrolan kita yang terakhir kali, Mas Aji. Mumpung Ayah masih bisa merespon seperti biasa."

Dokter Damaris juga merangkap orang yang paling Aji percayai mengenai urusan hati. Walau usia mereka cukup jauh, Beliau salah satu orang terdekat keluarga yang mampu ia ajak untuk mencurahkan segalanya, daripada harus mencari tenaga kejiwaan sesungguhnya yang tentu saja belum ia kenal dekat.

"Ada kemungkinan Ayah enggak bisa merespon lagi, Dok?"

Dokter Damaris menganggukkan kepalanya dengan tegas, lalu ia menambahkan, "bibir Ayah sudah tidak simetris, genggaman tangannya sudah tidak kuat sebagaimana seharusnya, sebagian orang sudah pasti lumpuh total pada setengah area tubuh kalau berada di posisi kesehatan seperti Ayah."

"Saya sudah berikan kepada Juru masak rumah tangga apa saja yang bisa Beliau konsumsi atau tidak. Beberapa resep obat juga sudah saya tambahkan. Untuk sebagian pasien ini akan masuk tahap demi tahap tergantung dari bagaimana tubuhnya masing-masing. Ada yang beberapa tahun, ada juga yang hanya beberapa bulan." Tambah Dokter Damaris.

"Beberapa hari sekali nanti akan ada Paramedis yang ke rumah ya, Mas Aji. Sekitar dua atau tiga orang untuk membantu Ayah terapi, sekedar berjalan-jalan di Taman belakang rumah, atau berjemur, dan lain-lain. Apapun akan saya usahakan."

"Baik, Dok."

"Atau Mas Aji mau sekalian saya inapkan seorang Perawat dari Rumah Sakit untuk membantu Ayah di sini?"

Glimpse of Heaven : Fate - Koo Junhoe & Kim Jiwon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang