Di atas menara tertinggi kastil yang bertengger di ujung tebing karang tempat para tahanan ditawan, seorang remaja berusia enam belas tahun nampak sibuk menggosokkan dua bongkah batu hitam; membuat percikan api yang akan membakar jerami kering untuk dijadikannya pemanas pada tungku perapian kecil di sudut ruangan.Api itu berkobar, meletupkan bunga-bunga merah penuh pijar, lalu semakin membesar setelah ia beberapa kali meniupkan angin menggunakan sebuah bambu kecil, dan udara yang dingin pun seketika berganti hangat.
Suara burung camar yang bertengger, suara debur ombak yang memecah karang, dan suara derap langkah kaki para prajurit yang melewati kamar tahannya silih berganti menyapa rungu, membuat Ilino, Pangeran yang terpenjara itu hanya bisa diam seolah tengah menunggu. Namun entah apa yang ia tunggu. Apakah nasib baik, ataukah sebaliknya, ia sendiri pun tak tahu.
Sepuluh tahun berlalu sejak kejadian nahas itu. Sepuluh tahun pula ia terkurung di dalam salah satu sel seperti tawanan Ratu yang yang lainnya. Dan ia tak tahu sampai kapan akan terus begitu.
Sedih dan kesepian adalah dua rasa yang sudah menjadi kawannya sejak satu dekade belakangan ini. Tak ada seorang pun yang mencarinya, dan tak ada seorang pun yang memedulikannya. Ia merasa telah hilang ditelan lubang hitam, jauh dari dunia.
🍎🍎🍎
Sejak kematian Sang Raja, seisi negri ditimpa derita. Musim dingin datang lebih cepat dan menetap lama tak seperti sewajarnya. Sejak itu juga tak pernah lagi ada musim lain yang datang. Salju membalut, menutupi seluruh permukaan tanah, dan mematahkan nyaris semua mata pencarian. Kematian di mana-mana, kelaparan merajalela.
Lain daripada itu, ketimbang memerhatikan apa yang terjadi di kerajaan dan warganya, Sang Ratu justru sibuk mematut dirinya di depan cermin; kaca ajaib
Benda setinggi dua meter dengan bingkai emas itu berdiri kokoh di salah satu dinding kamarnya. Permukaannya buram, tak seperti cermin pada umumnya yang akan memantulkan bayangan. Tak dapat dilihat dengan mata orang awam, namun dari cermin itu keluar sesosok makhluk berjubah hitam yang senantiasa akan datang jika dipanggil oleh si empunya.
"Cerminku ... katakan padaku, siapakah wanita tercantik di dunia ini." Sang Ratu berucap dengan suara tegas nan lantang.
Mahkluk hitam tak kasat mata itu terdiam sesaat, namun suara besar nan menggelegar seketika terdengar tatkala ia berucap, "Engkau tak perlu meragu akan hal itu. Wanita paling cantik di negeri ini hanyalah dirimu, wahai Ratuku."
Senyum merekah di bibir kejam semerah darahnya mematri apik pada wajah cantik yang tak pernah menua. Sang Ratu merasa bangga pada apa yang dikatakan Cermin padanya.
Sementara itu tanpa ia sadari seorang lelaki nampak diam-diam mengintip dirinya; yang terlihat seperti tengah berbicara sendiri, dari balik celah pintu yang terbuka.
🍎🍎🍎
"Kwarkk!"
Ilino yang sedang berbaring di atas ranjang seketika terperanjat, ia menoleh dengan wajah terkejut tatkala mendengar seekor burung camar berbunyi tepat di sisi lubang ventilasi udara di kamarnya. Burung itu nampak gaduh, kedua sayapnya terkepak tak dapat diam seolah memanggil Sang Pangeran untuk mendekat.
"Ada apa? Kau terluka?" Suara pelan namun merdu itu terdengar dari sosoknya yang datang ke arah sang camar berada.
Burung berbulu putih bak salju itu mematuk ribut pada sebuah kayu tua di sisi lubang, membuat Ilino mengernyit bingung dan berusaha mengintip keluar dengan kaki berjinjit. Ia cukup terkejut saat menemukan sebuah paku besar menancap di sana.
"Jadi, itukah yang ingin kau tunjukkan padaku?" tanyanya pelan, dan si burung kembali berbunyi sebelum melesat pergi.
Ilino terdiam, ia mengulurkan tangannya dan berusaha mencabut paku itu dari sana. Susah sekali sebenarnya karena lubang ventilasi tersebut sangat kecil dan cukup tinggi. Kakinya mulai lelah berjinjit namun ia tak menyerah, sampai beberapa menit kemudian sang paku akhirnya berhasil ia bawa dalam genggamannya.
Krieeet ...
Derit pintu menggesek lantai dari luar terdengar, membuat Sang Pangeran terkejut dan buru-buru berjalan mendekati pintu besi, lalu mengintip ke arah lorong gelap.
Ada dua prajurit yang datang dan membuka pintu ruangan kosong di seberang kamar Ilino saat ini. Lalu terlihat seorang anak lelaki diseret paksa untuk segera masuk ke dalam sebelum pintu besinya dikunci kembali.
Anak lelaki itu menangis tersedu-sedu, merintih, meminta dikeluarkan namun para prajurit yang membawanya seolah menuli, dan ia pun ditinggal pergi.
"Ssstt ..." Ilino mendesis, berusaha memanggilnya sembari melirik dari balik jeruji besi ke segala arah, berusaha memastikan tak ada prajurit yang memerhatikannya.
"Hei!" serunya kemudian meski tak seberapa kencang tatkala si bocah menunjukkan wajahnya dari celah jeruji besi di pintu miliknya. "Kenapa kamu ditahan?" tanya Ilino segera.
Bocah yang nampak lebih muda darinya itu menggeleng pelan, "Aku tak tahu. Mereka menangkapku saat aku tengah memancing ikan di sungai," jawabnya.
"Tidak ada alasan yang pasti?" Ilino bertanya lagi, dan gelengan kepala si bocah pun menjadi jawabannya. "Siapa namamu?"
"John."
Mendengar penuturan John, perasaan Ilino digurat was-was. Ia cemas, takut jika Ratu Erenne punya niat buruk yang akan dilakukan pada John, terlebih anak itu sangat manis dengan kulit putih bersih. Meski jika dibandingkan tak seputih kulitnya sendiri. Ilino takut jika John akan menjadi korban kekejaman berikutnya atas sihir hitam yang dienyam ibu tirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince, The Queen, and The Hunter [Banginho]
Fanfiction[HIATUS] Namanya Alexander Ilino, satu-satunya Pangeran di Kerajaan Alzarneast. Sosok manis dengan kulit seputih salju, rambut sehitam kayu eboni, pipi merona semerah darah, dan manik mata sekelam malam. Perangainya murah hati, lemah lembut, dan ama...