Waktu berlalu begitu cepat. Seiring dengan semakin tumbuh Sang Pangeran, keadaan sang ibunda; Ratu justru terdengar semakin mengkhawatirkan.
Beliau mengidap penyakit yang cukup serius. Berbagai obat dan ramuan telah diberikan dari tabib serta dokter yang berjaga khusus di kastil. Namun tak ada satu pun yang memberikan kesembuhan, tubuhnya kian waktu kian merapuh, dan sepanjang tahun ini Baginda hanya bisa berbaring pasrah di tempat tidurnya.
"Bunda ... apa Bunda masih sakit?" Pangeran kecilnya datang dengan setengah berlari masuk ke dalam kamar. Ia lantas berdiri di tepi ranjang sebelum menyodorkan setangkai mawar putih pada ibunya. "Joey membantu memetik ini untuk Bunda," katanya kemudian.
"Oh? Cantiknya ... terima kasih," ucap sang ibunda, ia lantas menghirup aroma lembut dari kuntum bunga putih itu lapat-lapat sebelum mengembuskannya. "Bunda gak sakit kok," sahutnya kemudian.
Tangan kurus yang semakin meranting itu terangkat, mengusap pipi gembil sang buah hati sebelum mencubit hidungnya gemas hingga si anak terkikik geli.
"Tapi kenapa Bunda gak mau keluar kamar? Bunda juga tidur terus. Ayah bilang Ino gak boleh ganggu Bunda, tapi Ino cemas, jadi Ino masuk gak bilang Ayah dulu," papar si kecil.
Sang Ratu terdiam, ia melipat tangannya di atas tumpukan selimut hangat yang membalut setengah tubuhnya. Wajah cantik itu tampak lelah, pipinya semakin tirus dengan kantung mata cekung menghitam. Bibirnya pun kering dan pucat.
"Bunda cuma kelelahan, Sayang," jawabnya setelah sekian sekon hanya diam untuk menimbang-nimbang; apakah harus menjelaskan perihal penyakitnya, atau tidak pada Pangeran kecilnya ini.
"Bunda pasti capek karna Ino nakal, ya?" cicit Ilino, kali ini ia naik ke atas kasur dan merangkak sebelum memeluk tubuh kurus ibunya. "Maafin Ino, ya, Bunda. Janji deh abis ini Ino gak akan nakal lagi," ikrarnya tanpa diminta.
Mendengar itu hati Sang Ratu terenyuh. Ada rasa senang karena anaknya begitu peka dan perhatian padanya, namun juga sedih bersamaan.
"Enggak, Sayang. Bunda kecapekan bukan karena kamu nakal, tapi karena memang umur Bunda yang udah tua," jelasnya, berusaha menampik selembut mungkin agar sang buah hati tak lagi menyalahkan dirinya sendiri.
Ilino mengangkat wajahnya. Netra bening seperti kaca itu berkedip lucu beberapa kali, ia lantas mengangkat jari kelingkingnya yang mungil sembari berucap, "Bunda mau janji gak sama Ino? Kalau Bunda sudah sembuh nanti mau kan main sama Ino lagi?" tanyanya.
Sang Ratu tertawa kecil, ia lalu mengangkat satu jari kelingkingnya dan menautkan dengan kelingking mungil si manis sembari mengangguk, "Iya, Bunda janji, nanti kalau Bunda sudah sehat lagi akan temenin Ino main," ikrarnya.
Sang Pangeran pun tersenyum luas, ia lantas kembali memeluk tubuh ibunya sembari mengecup kecil pipi tirus Sang Ratu dan berbisik, "Jangan kasih tau Ayah kalau Ino masuk ke sini, ya, Bunda. Nanti pantat Ino bisa dicubit kalau ketahuan."
Ibunya kembali tertawa mendengar itu, ada rona merah yang menyebar saat bibirnya tersenyum luas, dan mengembalikan sinar kehidupan di wajah pucatnya.
"Iya, Sayang," angguknya kemudian, berjanji takkan mengatakan apa yang tengah dilakukan oleh si mungil pada sang suami.
"Ino sayang, Bunda."
"Bunda juga sayang sekali sama Ino"
🍎🍎🍎
Sayang seribu kali sayang, ikrar janji yang dijalin dengan sang ibunda; untuk kembali bermain bersama, nyatanya tak pernah terpenuhi. Janji itu justru dibawa pergi selamanya lantaran sehari setelah Ilino menemui Bunda di kamarnya, kabar duka justru terdengar sebab Sang Ratu akhirnya mengembuskan napas terakhir saat malam tiba.
Kerajaan pun berduka. Upacara pemakaman diadakan dengan mengibarkan bendera setengah tiang; tanda duka cita.
Sepanjang hari itu, Ilino hanya bisa menangis menatap kepergian sang ibunda, ia menangis lantaran janjinya ikut terkubur dalam pusara bumi untuk selamanya.
🍎🍎🍎
Hilangnya satu sosok paling dikasihi membuat Sang Raja seolah tersesat dengan dirinya sendiri. Ia patah hati, ia marah, ia kecewa pada takdir Tuhan yang ia rasa tak adil digariskan untuk mendiang sang istri.
Pertempuran melawan musuh di medan perang seolah menjadi tempat pelariannya. Berminggu-minggu ia tak kembali ke kastil hanya untuk berperang.
Kemenangan tak dapat membuatnya bangga, ia justru semakin merana.
Sampai tiba datanglah sekelompok orang-orang berzirah hitam legam dengan aura mistis yang menjadi lawannya di medan perang.
Sang Raja tak tahu mereka makhluk apa, dan tak sadar juga jika pasukannya berada dalam gelombang sihir hitam yang merasuki setiap jiwa. Walau pada akhirnya pertempuran itu berhasil dimenangkan olehnya, namun Sang Raja tak lantas merasa lega.
Ia bingung pada apa yang baru saja dilenyapkan oleh tangannya.
Di tengah rasa kebingungan itu, Raja tak sengaja menemukan sebuah kereta kuda yang ditinggalkan pasukan mistis lawannya. Tatkala dibuka betapa terkejutnya Sang Baginda lantaran menemukan seorang wanita terbelenggu di dalamnya.
Ia yang kehilangan arah pun seketika tersihir oleh kecantikan perempuan asing tersebut, hingga akhirnya menawarkan diri untuk mengajaknya pulang dengan janji akan menjaganya nanti.
Tentu, tentu saja wanita itu mau dan menerima ajakannya. Ia pun ikut dalam rombongan pasukan menuju kastil di mana berada.
Ah, sayangnya Baginda Raja tak tahu kalau musuh sesungguhnya bukanlah pasukan berzirah hitam yang ia habisi, melainkan sosok penumpang asing yang ikut pulang bersamanya kini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince, The Queen, and The Hunter [Banginho]
Fanfic[HIATUS] Namanya Alexander Ilino, satu-satunya Pangeran di Kerajaan Alzarneast. Sosok manis dengan kulit seputih salju, rambut sehitam kayu eboni, pipi merona semerah darah, dan manik mata sekelam malam. Perangainya murah hati, lemah lembut, dan ama...