[01] Harap yang semu

362 52 1
                                    

Jemari mungilnya sibuk menyetubuhi keyboard laptop, menari ke ujung sana dan sini. Sesekali lidahnya menyesap hangatnya kopi, tapi aksanya tidak pindah atensi. Pada halaman kesembilan, sudah tiada lagi gagasan dalam otaknya, maka selesailah kegiatannya itu.

Beralih mengambil buku tulis, buku paket, dan pulpen—gadis itu meregangkan ototnya sebentar. Jemarinya kini berganti menyetubuhi pulpen yang dalam genggam untuk menoreh aksara menjadi kata dan kalimat dalam buku. Seperti kegiatan yang pertama, sesekali menatap buku paket—tapi ramainya lalu-lalang murid lain tidak menyita atensinya.

“Woy, Griselle! Catetan sejarah gue udah belom?” panggilan itu membuat bola matanya bergulir—melirik pada sumber suara. Gadis yang diketahui namanya Griselle itu tidak menjawab, ia hanya melanjutkan kegiatannya.

“Oh masih dicatat. Ayo cepat, Gris! Gurunya minta abis istirahat!” pinta orang itu—seorang murid laki-laki—setelah mendudukkan diri di sebelah Griselle. Mereka sedang di kantin, kalau kau mau tahu.

“Lo minta joki ke gue baru tadi pagi, terus minta cepet karena mau dikumpulin hari ini, DAN!—dan lo tahu ‘kan kalo halaman 127 sampai 158 itu banyak banget!?” Griselle meletakkan pulpennya, menyempatkan waktunya yang tinggal 5 menit untuk menatap lawan bicaranya.

“Ya—ya maaf, ‘kan—‘kan—“

“Diem!” Dan lelaki itu pun diam, ciut seperti kerupuk terpapar udara dingin.

Mungkin kiranya 7 menit, catatan itu akhirnya selesai. Sial, Griselle telat masuk kelas karena lelaki ini. Sayangnya dia agak tidak peduli, karena apa? Ya tentu, karena uang yang ia dapatkan. Lagi pula, saat kembali ke kelas, guru belum datang. Sebelum melangkah masuk, ia benahi dulu harga diri. Menata rambutnya dan sedikit memoleskan lipbalm pada bibir. Setelahnya, barulah ia masuk.

Di sana, di pojok kelas yang terbias sinar matahari dari jendela—lelaki itu terduduk diam dengan game yang ia mainkan lewat ponsel. Wajah seriusnya itu, membuat lengkungan tipis tercipta di wajah judes Griselle. Sampai di tempat duduknya saja, Griselle masih curi-curi atensi.

Dari banyaknya hal yang menarik di bumi, atensinya hanya goyah pada orang itu. Lelaki dengan tinggi 1,75 meter dan kulit seputih susu itu—tidak pernah masuk dalam kriteria lelaki idaman yang didamba oleh Griselle. Jenandra Allison, nama lengkapnya. Orang-orang biasanya memanggilnya Jenan, begitu pula Griselle.

“Bu Yanti gak masuk, beliau bilang ada kepentingan. Kita ngerjain soal di buku paket halaman 125 saja katanya,” seru ketua kelas di bangkunya—yang baru saja mendapat pesan teks dari sang guru.

Seluruh murid bersorak-sorai, kecuali Jenandra yang masih fokus pada game-nya dan Griselle yang fokus menatap lelaki itu dalam desiran darah yang menggelitik. Menggelengkan kepala untuk menyadarkannya dari ilusi, Griselle beralih mengambil buku bahasa Indonesia dan juga buku paketnya. Dengan itu, mulailah ia mengerjakan tugas seperti yang diperintahkan.

“Sel, bareng.” Suara berat itu menyapa pendengarannya, tapi ia masih fokus pada buku. Sudah biasa, sudah sangat biasa kalau lelaki tinggi penjabat sebagai ketua kelas ini selalu menghampirinya untuk mengerjakan tugas bersama.

“Sel, nomor 5 itu jawabannya A ‘ya?” tanyanya.

“Iya,” jawab Griselle setelah melirik nomor 5 di bukunya.

“Oke.” Lelaki bernama lengkap Alterio Beaufort itu mengangguk, lalu kembali fokus pada pengerjaannya. Ah, dia biasa dipanggil Alterio—lelaki itu keturunan Perancis.

Mungkin hanya 5 menit sebelum ia bertanya lagi. “Nomor 7 itu C?” dan dijawab oleh Griselle, “iya.” Lagi.

“Nomor 8 jawabnya B?”

“Iya.”

“9 itu E?”

“Iya.”

“10 itu D?”

“Iya.”

“Lo suka sama gue?”

“Iy—anj*r!”

Lelaki itu tertawa lepas, sedangkan Griselle menatapnya sengit. Bisa-bisanya dia bercanda seperti itu di saat kelas sedang senyap?! Dan—oh astaga! Jenandra meliriknya tadi! Lelaki ini benar-benar!

“Makanya Sel, lo tuh harus memedulikan sekeliling juga—jangan cuman fokus sama pekerjaan lo,” ucap Alterio yang mana tidak digubris oleh Griselle.

“Sel, semuanya saling membutuhkan. Kalo lo terlalu ngurusin urusan lo sendiri sampe gak tahu di sebelah lo ada orang pingsan—terus kejadian itu kebalik, jadi lo yang ngalamin. Lo gimana?” lanjutnya.

“Pasti panik dan sakit hati ‘kan?” tanyanya lagi.

Tak!

Griselle meletakkan pulpennya lalu menatap lelaki di sebelahnya itu, “kalo gue pingsan, gue gak tahu apa reaksi orang-orang. Gue gak bakal panik atau sakit hati kalo seandainya orang di sebelah gue gak peduliin gue. Karena apa? Ya, karena gue gak sadarkan diri. Jadi, Alterio Beaufort yang berwibawa—tolong diem, ‘ya?” Ia tutup kalimatnya dengan senyum cerah, tanpa sadar membuat Alterio terdiam sekejap.

Tak pedulikan Alterio yang masih setia melongo, Griselle beralih mengambil buku lain—buku seseorang entah siapa dari kelas XI IPS 2—yang mana memakai jasa joki catatannya. Rata-rata anak IPS sering memakai jasa jokinya, apalagi di mata pelajaran sejarah dan geografi. Griselle tidak keberatan walau dia sudah kelas XII.

“Lo masih buka joki?” tanya Alterio yang sepertinya sudah sadar dari lamunan. Yang ditanya hanya mengangguk singkat, tanpa suara apalagi menolehkan kepala.

“Udah kelas XII, fokus ujian kali!” ucapnya sambil mengemasi bukunya sendiri.

“Gue butuh duit,” jawab Griselle. Kini gadis itu menatap Alterio dengan aksa beningnya. Sorotnya dingin, mampu membekukan pergerakan seseorang yang beradu pandang dengannya.

Alterio menggeleng pelan, “joki-in tugas gue—ah enggak, jadi guru les gue saja.”

Griselle mengerutkan alisnya, memiringkan kepala lalu berucap, “gue gak buka les, jangan ngelindur.”

Alterio mengangguk, melipat tangannya di dada. Keduanya terdiam dalam bisingnya kelas yang penghuninya sudah menyelesaikan tugas. Diam-diam Griselle melirik ke pojok, melihat sang pujaan hati yang tertidur pulas dengan tangan sebagai bantalnya. Gadis itu tersenyum tanpa sadar, membuat Alterio yang ada di sebelahnya mengernyit bingung. Lelaki itu mengikuti arah pandang si gadis, lalu menemukan apa penyebab lengkungan manis itu terbit.

“Beginilah kalo lagi kasmaran, orang tidur ngiler saja tetep bikin senyum.” Lelaki tinggi itu menyinggung halus.

“Diem lo!” sinis yang tersinggung.

Alterio terkekeh pelan. Griselle ini lucu, dia marah padanya tapi wajahnya tetap memerah karena salah tingkah. Griselle adalah gadis yang sederhana dalam pandangnya. Bahagianya mudah, marahnya juga murah. Tidak sulit membuat emosinya tersulur, juga mudah membuatnya luluh. Griselle sangat sederhana, di mata Alterio Beaufort.

“Lo naksir dia udah dua tahun, ada kemajuan gak?” tanya lelaki itu, menghadapkan diri pada Griselle—membuat tubuhnya menghalangi pemandangan paling indah bagi Griselle.

“Kita pernah jalan beberapa kali, dia pernah panggil gue ‘sayang’ di chat, dia traktir pas gue ultah, dan gak tahu deh lupa.” Griselle menjawab dengan antusias.

“Jadi kalian pacaran gak? Ah, atau seenggaknya dia pernah ngajak pacaran gak?” tanyanya lagi, membuat Griselle tersenyum getir sambil menundukkan kepala dan menggeleng.

Dalam kesendirian, ia menunggu pasti pada harap yang semu.

Sorai.

Sorai [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang