“Om Richard bilang, kamu gak perhatiin dia ngajar.” Suara dingin itu menyapa pendengaran Griselle, tepat setelah ia pulang kerja pukul 10.00 PM. Gadis itu menghela napas, lalu berjalan saja ke kamarnya tanpa peduli apa pun.
“Griselle!” Orang itu menyeru lantang, membuat tubuhnya terhenti dan terlonjak secara otomatis.
Orang itu—ayahnya—melangkah maju, berdiri tepat di depan sang anak yang tertunduk lelah. Pria itu menatapnya datar, mengangkat wajah si anak agar menatapnya balik. Griselle menurut saja, tatapannya juga sama—dingin dan tak menyorot emosi apa pun.
“Kamu tuh anak tunggal, satu-satunya harapan, dan kamu satu-satunya cucu cewek di keluarga Papa! Siapa yang bilang kamu boleh mengabaikan pelajaran?! Kamu gak denger Om Richard, Om Yudi, dan Om Edryan yang selalu bangga-banggain anak laki-laki mereka?! Kamu harus jadi—ah enggak, kamu harus melampaui mereka, Griselle!” Ayahnya itu menyeru kalimat panjang, yang sebenarnya sering Griselle dengar.
“Andai kamu juga cowok, pasti lebih berguna!” Pria itu menatap Griselle dengan sengit, membuat hati anaknya sedikit tersengat.
“Yaudah, buat anak cowok terus buang saja aku. Kenapa susah?” lirihnya.
Plak!
“Keterlaluan kamu, Griselle! Siapa yang ngajarin kamu ngomong sembrono git—“
“PAPA! Yang ngajarin aku itu Papa! Ah, Mama juga! Kalian itu sama saja!” seru Griselle, memotong kalimat ayahnya. Dia tidak biasanya begini.
Plak!
“Dasar! Masuk ke kamar sana! Belajar yang bener!” Griselle menurut, melangkah marah meniti tangga. Dia tidak boleh menangis, dia harus tetap tenang walau pipinya nyeri sekali.
Tentang orang tua Griselle, mereka jarang pulang. Ayahnya adalah seorang pilot dan ibunya adalah direktur rumah sakit jiwa, tempat di mana Chandra dirawat. Jika salah satunya pulang, bukan kata rindu atau ungkapan sayang yang ia dengar—tapi tentu saja omelan dan tuntutan. Nah, kalau kebetulan pulang bersamaan—keduanya akan bertengkar hingga seisi rumah tidak bisa tidur, termasuk para pelayan.
Kadang Griselle berpikir, ibunya adalah pemilik rumah sakit jiwa—apakah beliau berniat menjadikan anaknya ini salah satu pasiennya dengan metode tekanan yang beliau beri pada Griselle? Ayahnya juga sama, keduanya memang sudah gila. Tidak masuk akal bukan, penyembuh mental malah merusak mental anaknya sendiri?
“Yang satu ngirim adeknya buat mantau, yang satu lagi ngirim psikiater! Sekarang yang punya gangguan jiwa tuh siapa?!” monolognya sambil berkeramas.
“Lama-lama gue jadi gayung saja gak sih?” Griselle berbicara dengan gayung dalam genggamnya. Gadis itu lalu menyalakan shower dan membasuh rambutnya.
Setelah beberapa saat mandi sambil terus bermonolog, ia keluar dan memakai pakaiannya. Griselle biasanya memakai dress nyentrik kalau dalam situasi ini. Kalau kata David—psikiaternya—lampiaskan saja emosi pada apa yang kita sukai. Misal dengan menggambar, mendengarkan musik, atau pun olahraga. Apa pun itu, yang penting tidak menyakiti diri sendiri.
Nah, itu, yang sulit Griselle lakukan adalah peringatan bahwa ia tidak boleh menyakiti diri sendiri.
Dia terlihat seperti murid biasa saat di sekolah, kan? Yang sibuk belajar, organisasi, ekstrakurikuler, bekerja, dan mengejar cinta Jenandra. Griselle selalu kondisional, tapi lebih sering bercanda dan tertawa dengan hal kecil, pun gampang menangis dengan cerita sedih yang sebenarnya biasa-biasa saja. Orang-orang akan menganggapnya mood swing, padahal ia sudah didiagnosis mengidap bipolar dan sering melakukan self harming, juga mengidap dermatillomania—suka mengelupasi kulitnya sendiri (kulit di sekitar kuku) tanpa kontrol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorai [✔]
Teen Fiction[R 15+] [COMPLETED] [●] Perayaan Patah Hati #2 ; Lee Jeno ft. Park Xiyeon local fanfic. Dalam lingkup kesendirian, Griselle Selenia mengaku jatuh cinta pada sekali pandang. Lelaki pendiam dan apa adanya itu, berhasil memikat hatinya yang bagai batu...