Seharian ini, Griselle hanya mengurung diri di kamarnya. Tidak mau makan, pun tidak mau menemui siapa pun. Ayah dan ibunya masih di rumah. Entah, Griselle tidak peduli juga.
Pipinya masih kebas dan nyeri akibat tamparan mentah dari sang ibu. Sakit di pipinya tak berarti apa-apa dibanding luka di hati yang makin lebar. Diri Griselle rasanya tercabik-cabik, terhempas dan terperosok tanpa ada yang menolongnya.
Alterio. Griselle merindukan Alterio.
Sial, air matanya menetes tanpa perintah. Griselle tidak suka menangis, ia jadi ingin dipeluk. Gadis itu selalu bertanya-tanya dalam tangisnya, kapan luka ini akan sembuh? Kapan ia akan berdamai dengan semua ini? Haruskah sampai mati ia rasakannya?
"Al, gue kangen." Suaranya parau. Ia sedang menelepon lelaki itu.
"Sel? You okay? Gue ke situ, ya?" ucap lelaki di seberang sana.
"Mama sama papa lagi di rumah, Al." Isakannya keluar tanpa sengaja, membuat Alterio makin panik di tempatnya.
"Kalo lo ijinin, boleh gue ngomong sama orang tua lo?" tanyanya.
"Iya, terserah. Tapi kalo salah satu dari mereka nyakitin lo, bawa gue kabur, ya? Gue beneran udah gak kuat banget, Al." Sialan, tangisnya pecah.
Alterio mengiyakan, lalu memutus sambungan. Lelaki itu segera berganti pakaian dan langsung saja melajukan motornya dari garasi setelah berpamitan dengan sang ayah. Ibunya sedang dinas.
Berkendara dengan pikiran yang berkabut tidaklah direkomendasikan, jangan ditiru. Untung saja Alterio masih selamat sampai di kediaman keluarga Griselle Selenia. Lelaki itu melepas helmnya dan merapikan rambut sebentar. Menetralkan deru napas, ia beranikan diri untuk memencet bel.
"Cari nona Griselle, ya? Maaf, nona lagi gak bisa diganggu." Pelayan yang membukakan pintu, menyuara.
"Saya mau ketemu Pak Heru dan Bu Sarah," jawab Alterio.
"Oh, silakan masuk. Saya panggilkan beliau dulu, ya?" Alterio mengangguk dan mendudukkan diri di ruang tamu. Rumah Griselle sepi sekali, dingin, seperti bukan rumah.
Beberapa menit kemudian, dua orang yang ingin Alterio temui datang. Wajah mereka juga tak kalah dingin dengan tembok rumah ini. Alterio agak merinding tapi tidak melunturkan semangatnya untuk membantu Griselle.
"Selamat sore, om dan tante." Lelaki itu tersenyum sambil menyalami tangan yang lebih tua.
"Kamu anaknya Rani, kan?" tanya ayah Griselle.
"Iya, om." Alterio tersenyum.
"Ada perlu apa, ya?" Lelaki tersebut berdeham kala pertanyaan itu keluar dari lisan ibu Griselle.
"Saya—eum...mau membicarakan tentang Selenia, om, tante." Alterio mengulum bibirnya.
"Kamu pacarnya, ya? Kemarin dia pergi sama kamu seharian, kan?" tanya Sarah.
"Sebenarnya bukan pacar sih, tante. Cuman saya yang suka sama dia," jawabnya.
"Saya ke sini cuman mau bilang, om, tante. Kalau Selenia hebat banget di sekolah. Dia jadi bendahara OSIS yang kompeten dan tanggung jawab, selain itu dia juga pinter banget. Dari kelas mana pun, joki tugasnya ke dia. Woah!" Alterio seperti berdongeng di depan triplek.
"Selenia juga baik hati, om, tante. Dia kalo nolong orang gak ngeliat siapa orangnya. Entah itu orang yang gak dia kenal, ataupun orang yang pernah jahatin dia. Selenia hebat banget! Saya kagum!" Lelaki itu dapat menangkap raut wajah keduanya mengendur.
"Om, tante—Selenia mungkin butuh pelukan hangat dari om dan tante sekarang. Mungkin dia gak cukup untuk memuaskan harapan om dan tante. Tapi—setidaknya hargai usaha Selenia. Dia bekerja keras selama ini, om, tante." Keduanya menunduk, tiba-tiba sang wanita meneteskan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorai [✔]
Teen Fiction[R 15+] [COMPLETED] [●] Perayaan Patah Hati #2 ; Lee Jeno ft. Park Xiyeon local fanfic. Dalam lingkup kesendirian, Griselle Selenia mengaku jatuh cinta pada sekali pandang. Lelaki pendiam dan apa adanya itu, berhasil memikat hatinya yang bagai batu...