[20] Bertaut

189 27 0
                                    

Pagi itu, 2 hari sebelum acara wisuda, Griselle duduk di depan orang tuanya. Menunduk, suntuk dengan keadaan yang menusuk. Ia ingin kabur, suasana di sini super canggung.

“Griselle, papa dan mama...minta maaf.” Mata keruhnya melirik, jantungnya berdebar seperti sedang mengerjakan soal kimia di papan tulis sambil diawasi oleh 10 ilmuwan ternama seluruh dunia, oke ini lebay.

“Maaf karena...gak mengerti kamu selama ini.” Sang ayah menambahkan kalimatnya karena anak gadisnya hanya diam.

“Griselle, kamu maafkan kita ‘kan?” Kali ini sang ibu yang bertanya.

Gadis itu mengangguk sebelum bergumam, “iya.”

“Aku juga minta maaf karena—yah, aku kasar selama ini. Harusnya aku jujur saja kalau gak setuju. Maafin aku, pa, ma.” Gadis itu menatap penuh pada ayah dan ibunya.

Ketiganya tersenyum, lalu berpelukan seperti Teletubbies. Sebenarnya mudah untuk berbaikan, bukan? Hanya saja selama ini mereka memilih untuk tetap berpegang teguh pada ego, ambisi, dan depresi masing-masing. Padahal itu bukan sesuatu yang pantas dipelihara. Lepaskan, ungkapkan, lalu berpelukanlah.

Rumah yang tak pernah Griselle anggap ‘rumah’ itu akhirnya mendapat terangnya kembali. Setitik, lama menjadi makin terang dan menghangat—mengusir dingin yang pernah singgah. Sunyi yang pernah menjadi peran utama kini telah mati diganti gelak tawa dan obrolan renyah. Bukankah indah? Griselle mendapat senyumnya yang pernah hilang ditelan kesendiriannya.

Sekarang, kesendirian bukan lagi kalimat pertama yang ditulis dalam cerita ini.

Tama—BELUM!

Belum, ceritanya belum bisa berakhir begitu saja. Yang menjadi inti bukanlah keluarga Griselle, tapi kisah cintanya kan? Jadi, mari kita selesaikan yang itu.

Griselle datang ke lokasi wisuda bersama kedua orang tuanya. Gadis itu sangat cantik dengan balutan kebaya sebiru langit, sebiru hatimu saat ditinggal pergi mas doi. Dipadu dengan rok batik, high heels, dan jangan lupa juga rambutnya yang disanggul kecil. Wajahnya yang dirias natural itu disapu cahaya matahari pagi, menawan.

“Alterio?” sapanya ragu pada seseorang di sebelah pintu masuk. Lelaki itu menoleh, dan memang benar bahwa ia adalah Alterio. Griselle tersenyum tipis, lalu meminta ayah dan ibunya masuk lebih dulu.

“Selenia,” sapanya dan tersenyum.

“Gue udah baikan sama mama dan papa,” ucap gadis itu sambil tersenyum.

“Wah, bagus dong. Nanti—”

“Griselle?” Keduanya menoleh, mendapati Jenandra yang datang dengan senyum manisnya. Sialan, Griselle bisa jatuh cinta lagi—maka dari itu, Alterio segera menutup mata gadis tersebut, membuat si empu mata mengernyit heran.

“Gue gak disapa?” tanya Alterio dengan sinis.

“Oh ya, hai, Alterio.” Lelaki itu kembali menatap Griselle.

“Gris, nanti ke prom sama gue ya?” tanyanya.

“Hah? Aku gak inget kalo ada prom, lho? Kamu inget gak, sayang?” Griselle menatap Alterio dengan senyum manisnya, sedangkan Alterio balik menatapnya dengan kaget. Ya, Jenandra juga tak kalah kaget.

“Sayang??? Kalian pacaran? Lho, bukannya lo cinta mati sama gue, Gris?” Jenandra melayangkan tanya dengan begitu percaya diri.

“Nah, itu lah poinnya, Jenan. Cinta mati, jadi cinta gue udah mati ke lo karena terlalu lama lo anggurin. Ah, gue juga gak mau memberi cinta kepada seseorang yang gak pantes mendapatkan cinta gue.” Mata Griselle juga bicara, bahwa ia sudah cukup dengan Jenandra. Tidak lagi, tidak akan lagi menyia-nyiakan waktunya untuk lelaki tidak tahu diri itu.

Sorai [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang