[08] Kali pertama

104 35 1
                                    

Di sinilah Griselle dan Anargya berpijak, pada halaman depan Rumah Sakit Jiwa Harapan—tempat di mana Chandra dirawat. Gadis itu menghela napas sebentar, lalu melangkah diikuti Anargya. Griselle belum pernah ke sini sebelumnya, walau ia kenal seseorang di sini.

Keduanya menaiki elevator ke lantai 3. Kamar inap Chandra ada di sana. Tidak ada obrolan yang bermakna di sana sampai pintu elevator terbuka dan mereka berjalan menyusuri koridor. Selangkah lagi sampai, mereka berpapasan dengan seorang lelaki muda yang kelihatannya baru keluar dari kamar inap Chandra.

“Griselle?” panggil lelaki itu sambil menurunkan kacamatanya, merasa tidak yakin kalau itu memang gadis yang ia kenal.

“Halo kak,” sapa Griselle balik.

“Oh, halo. Kenapa ke sini? Bukannya nanti aku—“

“Kakak abis tugas? Aku ke sini mau jenguk teman,” ucap Griselle—memotong kalimat lelaki tersebut.

“Oh, gitu. Siapa temanmu?” tanyanya agak tak yakin, pasalnya gadis itu tidak terlihat mempunyai banyak teman akrab.

“Chandra Aditama, di kamar yang barusan kakak kunjungi.” Griselle tersenyum dalam jawabnya.

“Oh, pasien baru itu temanmu, aku baru tahu. Waktu jenguk tinggal 30 menit, gih sana.” Lelaki tersebut balas tersenyum, lalu mencubit gemas pipi Griselle—membuat gadis itu merengut kesal walau akhirnya tersenyum juga. Tolong, Anargya ingin menjadi pot bunga saja.

Keduanya lalu masuk, Chandra yang masih setengah duduk di bangsalnya—kaget sekali. Sedangkan Griselle tersenyum manis, Anargya memperlihatkan wajah biasa saja. Ya, karena ia tidak akrab dengan lelaki itu.

“Halo, Chandra. Kabarmu baik?” sapanya.

“Kenapa ke sini?” tanya Chandra tanpa menjawab sapaan Griselle.

Gadis itu tidak tersinggung, ia masih tenang dengan senyumnya. Griselle lalu duduk di kursi, menatap dalam pada aksa milik pelaku penyerangannya beberapa hari yang lalu. Anargya dari tadi diam saja, Griselle tidak terlalu memikirkannya.

“Saya pengen ketemu kamu. Jadi, kabarmu baik?” tanyanya lagi.

Chandra memalingkan wajahnya, menatap ke luar jendela yang menampakkan panorama langit dengan ornamen awan-awan lucu juga beberapa burung yang bebas beterbangan sambil ribut berkicau ria. Griselle juga memandangnya, lalu tersenyum tipis.

“Sepertinya enak ya, jadi burung. Mereka bisa bebas terbang ke mana saja, berkicau tanpa malu, dan tidak dikekang siapa pun.” Gadis itu menyuara.

“Kamu juga berpikir kayak gitu?” tanya Griselle, kini pandangannya mengarah pada Chandra.

Lelaki itu menoleh padanya, menatap Griselle dengan pilu, lalu meneteskan air mata begitu saja. Gadis itu menggenggam tangannya, tanpa sadar membuat Anargya meringis tak suka di belakang tubuhnya.

“Nangis saja gak apa-apa, saya temani.” Griselle mengelus pelan jemari kurus yang sedang ia genggam itu. Chandra makin tersedu, isaknya sangat menyentuh hati Griselle. Gadis itu masih dalam posisinya, menatap Chandra dalam sorot penuh tenangnya, lelaki tersebut masih menangis—mungkin sampai 7 menit.

“Gak ada yang ke sini, gak ada yang tanya kabar.” Chandra menyuara di tengah sedihnya.

“Kalian bikin aku sedih tapi juga seneng,” lanjutnya.

Dan begitulah, tiada percakapan yang berarti kecuali sapaan dari Griselle dan dua kalimat di atas. Keduanya pamit pulang setelah tangis Chandra reda dan lelaki itu tertidur setelah Griselle memanggil David—lelaki tadi, psikiater Chandra.

Sorai [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang