[17] Kiss you

102 25 3
                                    

Griselle terdiam di balkon kamarnya, menatap kosong pada bumi yang sedang diguyur hujan. Beberapa bulan telah berlalu. USBN telah mereka lewati, siswa eligible juga sudah diumumkan. Tentu, Griselle termasuk dalam daftar tersebut.

Lalu, apa yang ia lamunkan sampai mata beningnya mengeruh pilu?

Mungkin beberapa dari pembaca cerita ini, sebagai anak broken home tahu apa yang sedang terjadi pada Griselle. Dua minggu lagi diadakan wisuda, orang tua para wisudawan diundang ke acara tersebut. Griselle bingung harus bilang pada siapa. Ibunya sibuk, apalagi ayahnya. Tentang badai yang disinggung pada bab sebelumnya, Griselle selamat. Saat ia pulang dengan Alterio, orang tuanya sudah tidur.

Kembali fokus pada apa yang akan dibahas di awal bab ini. Tentang siapa yang akan menghadiri wisuda Griselle. Apakah semuanya saja? TIDAK MUNGKIN.

Ah, Griselle mengacak rambutnya. Orang tuanya masih lengkap tapi ia bingung seakan tidak punya orang tua. Gadis itu beralih merebahkan diri di ranjang. Meraih ponsel dan mancoba menghubungi ibunya. Lama ia berdering tapi tak kunjung dapat jawaban. Bagaimana ini?

Memilih mengakhirinya, Griselle beralih menelepon ayahnya. Ah sial, ponsel ayahnya tidak aktif. Sejenak, Griselle lupa kalau ayahnya adalah seorang pilot. Mungkin sekarang beliau sedang bertugas. Lagi, ia merenungi nasibnya sambil menatap plafon kamarnya yang dihiasi ornamen bintang dan bulan.

Drrrrtt!

Ah, Alterio meneleponnya. Segera ia jawab panggilan itu dan mendudukkan diri.

"Halo, ada apa, Al?" tanyanya pada lelaki di seberang sana.

"Gabut, main yuuk!" seru si lelaki. Wajah lusuh Griselle langsung menyegar. Ia tersenyum manis lalu mengiyakan ajakan Alterio dan segera membenahi harga diri setelah mengakhiri panggilan secara sepihak.

Gadis itu mandi lagi, memakai dress putih selutut dan mengepang rambutnya dengan hiasan pita berwarna merah muda. Cantik sekali, orang-orang tidak akan menyangka kalalu gadis itu sedang dilanda gelisah, galau dan merana perkara wisuda didampingi orang tua.

Beberapa menit kemudian, Alterio sampai. Lelaki itu juga terlihat sangat menawan hanya dengan kaus hitam polos dan celana jeans warna biru tua. Ah ya, rambutnya terlihat sedikit curly. Sejenak, Griselle terpesona. Menggelengkan kepala, gadis itu beralih menerima helm dari sang lelaki dan keduanya melaju menyusuri jalanan kota yang sepi di malam hari ini. Mungkin karena sehabis hujan, jadi orang-orang malas keluar dari gelungan selimut masing-masing.

"Dingin gak?" tanya Alterio.

"Biasa saja." Griselle menjawab dengan santai.

"Kalau dingin peluk gue saja, gak masalah. Udah gak ada pawangnya!" timpal si lelaki.

"Kalau gue pawangin mau gak?" Belum sempat dapat jawaban, motor Alterio tiba-tiba berhenti. Membuat badan Griselle terhantam punggung lebar lelaki tersebut.

"Kenapa-"

"Sel, tolong kalau ngomong dijaga, ya? Hati gue berdebar, jancok!" Awalnya Griselle mengernyit, lalu berakhir tertawa kencang karena lelaki didepannya ini sangat lugas dan lucu.

Alterio kembali melajukan motornya, menyetubuhi aspal basah ditemani redupnya lampu kota dan dinaungi oleh langit gelap yang mendingin. Berboncengan mengelilingi kota tanpa tujuan. Mencari penyakit, menghabiskan bensin, dan mengeluarkan racun dari pikiran yang ramai. Griselle bersandar pada punggung lebar Alterio, menikmati semilir angin malam yang tidak sehat.

Motor tersebut berhenti di pinggiran jembatan. Keduanya turun, melepas helm, dan mulai mengatensikan aksanya pada luasnya sungai yang tenang.

"Udah menghubungi orang tua lo? Siapa yang mau datang?" tanya Alterio, memecah keheningan malam itu.

Yang ditanya hanya diam lalu menggeleng dan tersenyum miris.

"Ibu gue pramugari, mau gue bantu hubungi papa lo?" tanyanya lagi.

"Gak perlu repot-repot. Mereka bakal datang kok," jawab si gadis-yang akhirnya bersuara.

"Akhirnya lo bisa berpikiran positif juga," timpal si lelaki sambil terkekeh ringan.

"Oh jelas dong!" sombong si gadis.

"Diajarin siapa?" Si lelaki meledek.

"Beaufort Alterio yang hatinya beauty!" seru si gadis, lalu tergelak entah untuk alasan apa.

"Mau gue ajarin yang lain gak?" tawarnya. Griselle menaikkan sebelaah alisnya, lalu berdeham.

"Belajar mencintai cowok di depan lo." Lelaki itu tersenyum dengan brengsek, membuat jantungnya berdebar dan darahnya berdesir. Sial, Alterio sangat berbahaya bagi kesehatan organ dalamnya. Haruskah ia ke rumah sakit besok? Atau menghubungi psikiaternya? Sepertinya Griselle mangalami gangguan jiwa nomor 22.

Keduanya beralih terdiam dalam lamunan masing-masing. Bohong jika Griselle mengatakan kalau keadaanya baik-baik saja. Meski Alterio cukup menghiburnnya, urusan orang tuanya tetap menghantui pikiran. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mereka masih betah dalam posisi tersebut.

Sepertinya Alterio sangat mengerti Griselle, ya?

"Menurut lo, kapan gue bisa berbaikan sama keadaan?" Gadis itu melayangkan tanya, maka menolehlah si lelaki.

"Sekarang," jawabnya.

"Ngaco lo, bujang!" Kepalan tangan itu melayang mentah ke punggung lebar si lelaki, membuat si empu punggung meringis ngilu.

"Kenapa ngaco? Gak ada yang gak mungkin di dunia ini, termasuk pertanyaan lo tadi." Alterio menatap dalam pada kedua aksa yang sedang mengeruh di sampingnya itu.

"Pertama, lo harus berdamai sama diri lo sendiri. Kedua, lo harus bersikap biasa saja ke orang tua lo. Ketiga, silakan sok akrab sama mereka." Lelaki itu melanjutkan kalimatnya.

"Nah, yang paling sulit itu nomor satu sama nomor dua. Berdamai sama diri sendiri? Itu hal masih lumayan sulit buat gue. Lo tahu 'kan, gue pengidap bipolar." Gadis itu menatap kosong pada sungai di bawah sana. Tiba-tiba ia berpikir untuk menjadi ikan saja. Hanya berenang, berenang, dan terus berenang-seperti kata Dori. Salah satu karakter fiksi.

"Lo bisa, Sel. Selama ini lo ngosis, ada psikiater, dan bacaan buku lo keren semua. Griselle Selenia itu hebat banget, apa sih yang gak bisa lo lakuin?" Alterio memandang Griselle dengan pandangan yang gadis itu sendiri juga tidak tahu maknanya. Ya, intinya-setidaknya ada yang mengatakan kalimat tersebut.

"Al, lo yakin sama gue?" tanya Griselle tanpa konteks yang jelas.

"Yakin!" jawab si lelaki dengan mantap.

"Bukan, bukan tentang pertanyaan gue yang pertama. Tapi tentang perasaan lo. Gue ini penyakitan, keluarga gue gak sebaik yang lain. Raina jauh lebih baik dari gue, Al. Lo bakal nyesel kalo-"

Oh tidak, Griselle terlalu banyak bicara, Alterio hanya ingin menghentikan gadis itu. Tentu, dengan tabrak lari terhadap belah tanpa tulang sewarna cherry tersebut. Gadis itu terdiam, matanya membola. Ini, tempat umum, 'kan? Alterio bajingan gila!

Sial, kini lukisan abadinya ada dua.

Dan kini-terdapat di bagian yang...ya...seperti itulah.

Kepada cekungan langit malam yang udaranya mendingin menusuk ke tulang, pada gemericik ringan air sungai, juga pada jalanan tempat mereka berpijak. Aku selaku penulis cerita ini, mewakili keduanya untuk meminta maaf atas kurang ajarnya kedua pemeran utama dalam bab ini.



Sorai.

Sorai [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang