[03] Patah dibalik fakta

145 43 0
                                    

“Griselle, lo sibuk gak sore ini?” Pertanyaan sederhana dari Jenandra itu, membuat desiran darah pada tubuh Griselle makin menggelitik hati, belum lagi jantungnya kini asyik diskotik.

“Gue ada seleksi anggota baru. Emang kenapa?” jawab Griselle apa adanya, lalu balik bertanya.

“Gak apa-apa, gue cuman mau ngajak makan bareng. Lo mau gak?” Harusnya Jenandra tidak perlu repot-repot bertanya, iya ‘kan?

“Hah?!” Nah, sekarang dunia bagai berputar dan berporos padanya dan Jenandra. Tidak peduli pada ramainya kelas yang lagi-lagi ditinggal guru pergi, kedua pasang mata itu saling tatap dalam sorot penuh bahagia.

“Kalo gak mau—“

“Mau kok! Mau banget loh! Eh—“ Griselle gugup karena kelepasan, lelaki di depannya malah tersenyum tipis. Ia sempatkan mengangguk sebelum melenggang ke bangkunya sendiri.

Griselle masih mematung di tempatnya, setelah sekian lama—apakah tahun ini adalah keberuntungannya? Oh demi Tuhan—Griselle ingin melayang. Tolong, di mana Alterio?! Dia harus mengadu, dia harus lapor, dia harus pamer, tolong di mana lelaki itu?!

Memutuskan untuk kembali pada kenyataan, Griselle mengetikkan narasi lagi pada laptopnya. Setelah diajak makan bersama oleh sang gebetan, ide ceritanya tiba-tiba lancar jaya sentosa. Orang-orang akan menduga kalau yang diketik Griselle adalah novel romansa, padahal itu adalah narasi horor. Makanya Alterio sering mengatainya kuntilanak alter ego karena mampu menulis cerita horor sambil tersenyum merah merona pipinya.

Dalam kesendirian, Griselle menikmati lumernya hati hari ini.


×××


OSIS kelas XII sedang menyeleksi murid-murid yang mendaftar, sedangkan OSIS kelas XI menjadi pengawas peserta saja. Griselle gelisah dalam duduknya, ia ingin cepat-cepat menyelesaikan sesi dan berlanjut makan bersama dengan Jenandra. Hari ini adalah sesi wawancara, ia hanya mengajukan pertanyaan sederhana lalu menyuruh peserta kembali ke tempatnya.

“Anargya Damarlangit,” panggilnya pada salah satu peserta.

Seorang lelaki dengan tinggi kira-kira 1,80 meter itu maju, duduk di depannya dengan senyum ramah. Wajah ini, tidak asing baginya. Sepertinya ia pernah bertemu dengan lelaki ini selain di sini, tapi entah di mana. Saking asyiknya mengamati sambil mengingat, Griselle sampai tidak sadar kalau dua menit berlalu begitu saja sedangkan waktu wawancara adalah 3 menit per peserta.

“Ah, maaf ya Anargya. Saya kayaknya pernah lihat kamu jadi tadi mikir dulu.” Gadis itu menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu membuka lembar penilaiannya.

“Iya kak, kita emang pernah ketemu kok pas di lapangan itu. Maaf ya waktu itu saya gak sengaja,” ucap lelaki itu yang kini diketahui namanya adalah Anargya.

“Oh yang itu, iya gak apa-apa kok santai saja. Yaudah ayo kita mulai sesi wawancaranya ya?” Dan sesi seleksi pun dimulai. Griselle yang tadinya gelisah perihal makan bersama, kini malah lupa dan asyik menanyakan beberapa hal kepada Anargya. Biasanya sesi wawancara akan berlangsung tegang, tapi mereka malah terlihat seperti sedang mengobrol biasa.

Dan begitulah, 3 menit berlalu. Anargya kembali ke tempat dan Griselle memanggil peserta selanjutnya. Begitu terus sampai ke peserta terakhir, setelahnya ia menyampaikan sepatah kata untuk penutup dan motivasi, lalu membubarkan para peserta yang kedapatan diseleksi olehnya.

“Anargya, tunggu sebentar!” serunya, membuat lelaki itu berhenti dan menghampiri.

“Ada apa ya kak?” tanyanya polos, lucu sekali sampai Griselle lupa konteks untuk beberapa detik.

“Ah ini, sapu tangan kamu. Makasih ya?” ucapnya sambil memberi sapu tangan hitam yang seminggu lalu diberikan oleh Anargya.

“Iya kak sama-sama. Saya sekali lagi minta maaf ya kak,” ucap lelaki itu lalu kembali membungkukkan badan seperti waktu itu.

“Aduh, santai saja. Saya gak apa-apa kok, asli suer demi Tuhan.” Jarinya membentuk piece, mengisyaratkan pada adik kelasnya itu bahwa ia benar-benar baik-baik saja.

“Gimana kalo saya traktir kakak makan buat permintaan maaf, kak?” tawarnya, untuk kisaran anak kelas XI, si Anargya ini cukup berani menawari makan bersama dengan Griselle yang hatinya beku.

“Ah iya, makan bareng?! Aduh, saya lupa ada janji penting. Saya pergi dulu, ‘ya? Take care of your way!” Tanpa peduli jawaban Anargya, gadis itu melesat pergi. Ia juga sudah izin pada ketua OSIS dan ketua panitia kalau dirinya ada keperluan penting.

Dalam susuran koridor yang sepi, ia menyesal dalam hati. Bisa-bisanya melupakan hal penting hanya karena seorang bocah yang tidak sengaja menendang bola ke arahnya. Sial, semoga saja Jenandra masih di tempat. Semoga saja lelaki itu masih sabar menunggunya. Semoga saja—

“Apa?!” Langkahnya terhenti. Tepat pada radius 150 meter di depannya, terlihat Jenandra yang sedang berjalan beriringan dengan Tiara. Mereka bahkan terlihat tertawa bersama. Dengan segala tekad di dada, ia raih ponsel pada saku almamaternya. Ia beranikan diri menelepon lelaki itu, walau hatinya agak nyeri sekarang ini.

Halo, Griselle.” Lelaki itu terlihat merangkul Tiara setelah menyapanya.

“Jadi makan gak, Jen?” Sial, suaranya bergetar.

Oh gak bisa sekarang kayaknya, Gris. Gue lagi mau pergi sama Ibu,” jawabnya di sana.

“Oh yaudah, ini gue juga belum selesai kok acaranya. Hati-hati ya pergi sama ibunya,” timpalnya lalu memutus panggilan sepihak. Ia kantongi lagi ponselnya, matanya masih setia menatap keduanya yang tampak serasi—sampai mereka hilang ditelan tembok pertigaan koridor.

Wajah Griselle masih datar seperti papan ujian, tapi hatinya sudah kelewat remuk bagai kaca yang dihempas ke batuan. Tolong, dia patah hati dan cemburu, tapi tidak berhak untuk mengatakan apa pun. Ya, memangnya Griselle siapanya Jenandra sampai berani cemburu saat lelaki itu merangkul tubuh gadis lain—yang mana dulu adalah cinta pertamanya.

Dalam kesendi—

“Kak?” Griselle terlonjak, tersadar pada semesta bahwa ia masih berpijak pada bumi. Belum selesai dirinya punguti remukan hati, ada seseorang yang menepuk bahu.

“Oh? Anargya?” kejutnya.

“Urusan pentingnya udah, kak?” tanyanya.

“Hah? Oh, udah kok.” Ia menjawab dengan senyum getir.

“Kakak udah makan? Kalo belum, ayo bareng saya, kak. Saya mau menebus kesalahan saya waktu itu, masih ngeganjel saja di hati. Saya gak enak,” ucapnya panjang lebar.

“Gak perlu, Anargya. I’m totally fine,” jawab Griselle dengan tolakan halus. Dia tidak baik-baik saja kalau bertemu orang lain saat patah hati. Akan tidak etis jika ia menangis tersedu di depan Anargya yang baru mengenalnya.

“Kalo kepan-kapan gimana, kak? Mau 'ya?” tawarnya lagi dan Griselle hanya mengangguk. Gadis itu tersenyum dan undur diri untuk pulang saja. Ia ingin berbicara pada tembok, ditemani lagu-lagu galau pada playlist spotify-nya.

You’re not okay, Kak.” Lelaki itu menggumam kelewat lirih, sampai bibirnya terlihat tidak bergerak.

Dalam kesendirian, Griselle tidak tahu kalau Anargya mendengar semuanya. Ini rahasia kita, jangan beritahu dia ‘ya? Nanti Anargya jadi canggung. Lagi pula, kenapa lelaki yang mengajak Griselle begitu brengsek? Anargya tidak suka, bintang satu saja.

Sorai.

Sorai [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang