[10] Dalam dekapmu

109 35 1
                                    

Kalau kau berspekulasi bahwa Griselle sedang menangis tersedu-sedu di pinggiran sungai sambil meratapi nasib, maka kau salah. Gadis berambut panjang itu asyik membolos ke warnet. Dalam pikirnya, tidak akan ada yang tahu dia akan bolos ke sini. Apalagi Alterio yang menyaksikan emosinya meledak.

Kini yang ia lakukan hanya menonton drama Korea komedi sambil memakan camilan. Oh ayolah, ini baru pukul 10.00 AM dan ia masih menggunakan seragam. Tapi siapa peduli, yang penting dirinya tidak melampiaskan emosi pada warga sekolah. Apalagi Martha, mungkin untuk beberapa hari ke depan—ia tidak akan menemuinya dulu.

Satu episode berlalu, camilannya habis, tapi sesak di dadanya masih bersisa. Apakah ini waktu yang tepat untuk menyanyikan lagu ‘Sisa Rasa’ milik Mahalini? Sepertinya iya, tapi tidak di sini. Kalau ke tempat karaoke dengan seragam sekolah, mungkin akan mendatangkan masalah. Jadi, ia memutuskan untuk ke alfajuni saja.

Keluar dari warnet setelah membayar tentu saja, gadis itu melangkah dengan senandung lirih menuju ke alfajuni. Jalanan agak sepi, karena ia kabur ke kota sebelah yang memang agak terpencil, menaiki bus tadi. Sesampainya di alfajuni terdekat, gadis itu membeli mi instan dan sebotol air mineral. Memakannya di depan, sambil melihat lalu-lalang yang jarang—rasanya dunia yang sepi, mendoktrin Griselle untuk mengerang kencang.

“Minya pedes banget,” ucapnya lirih ketika setitik air tiba-tiba menetes dari pelupuk mata. Oh ayolah, kepada mata—tolong bekerja sama. Ini bukan waktunya meratapi nasib, Griselle sedang berada di tempat umum.

“Gue gak nangis, gue cuman kepedesan. Gue cuman kepedesan,” monolognya lagi. Agak beruntung sih, karena di sini hanya ada dirinya.

Beberapa menit kemudian, makanannya habis. Gadis itu meminum air mineralnya, lalu iseng membuka ponsel. Hampir menyalakan data seluler, ia sadar kalau dirinya sedang bolos saat ini. Ada kemungkinan Martha mencarinya, bagaimana pun juga—lelaki itu beritikad baik. Dia selalu minta maaf saat habis memarahi anggotanya.

Tapi saat ini Griselle sedang tidak mau dihubungi. Dia benci semua orang. Oke, mungkin pengecualian bagi Alterio dan Anargya karena mereka—

“Di sini lo ternyata.” Suara berat itu menyapa pendengarannya saat ia sedang asyik tenggelam dalam lamunan. Ia tolehkan kepala—melihat siapa yang datang dan mendudukkan diri di depannya.

“Kok lo—“

“Apa? Kenapa gue bisa sampe sini? Insting,” jawab lelaki itu tanpa menunggu apa yang akan dipertanyakan Griselle.

“Dih, insting kayak anjing saja.” Griselle mengalihkan pandangannya. Lelaki itu tertawa renyah, melipat tangannya di depan dada, lalu menatap gadis di depannya ini lamat-lamat. Sukses membuat yang ditatap agak salah tingkah.

“Kenapa? Mau bilang gue gak berguna juga? Mau bilang gue kelainan jiwa juga? Bilang saja gak apa-apa, gue kebal!” Gadis itu menunduk, agak menyesal kenapa tiba-tiba marah.

Alterio—lelaki itu—masih menatapnya tanpa berniat menimpali apa pun. Griselle mendongak, mempertemukan aksanya dengan manik si lawan bicara. Keduanya terdiam, seakan berduel, tatapan siapa yang paling dingin. Tiba-tiba Alterio berdiri, beranjak, lalu menarik pergelangan tangan Griselle tanpa seutas kata pun.

Keduanya berjalan di pinggiran jalan, dengan jemari tegas Alterio yang masih menggenggam erat tangan halus si gadis. Oh iya, lelaki itu ke sini juga menggunakan bus, dia haus saat mencari Griselle dan kebetulan menemukan gadis itu di sini. Ah, lelaki tersebut bahkan belum membeli minuman.

Langkah Alterio terhenti di pinggiran danau, membuat Griselle otomatis juga berhenti. Dalam hati, gadis itu mengumpat. Banyak tempat di dunia ini, kenapa Alterio membawanya ke sini? Ia tidak mau galau di pinggiran danau. Itu membuatnya teringat kenangan manis bersama Jenandra dulu, saat pertama kali lelaki itu mengajaknya jalan.

Sorai [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang