“Mohon izin kepada bapak/ibu guru yang sedang mengajar. Panggilan kepada Griselle Selenia selaku bendahara OSIS untuk segera menemui Bu Ratna di ruang TU. Terima kasih.”
Pengumuman dari pengeras suara itu memenuhi penjuru sekolah. Karena di kelas Griselle sedang jam kosong, gadis itu tidak perlu basa-basi lagi dan langsung keluar menuju ruang TU. Jarak kelasnya dengan ruang TU dekat, hanya perlu menyeberang lapangan basket yang kini sedang digunakan siswa kelas XI MIPA 4 untuk bermain futsal. Sorak-sorai para siswi pun menyapa pendengarannya, agak mengganggu.
Duk!
“Anj*ng!” Griselle mengumpat, jangan salahkan dia. Salahkan saja bola yang tiba-tiba mencium pipi tembamnya. Ah, sekarang Griselle tampak seperti memakai perona pipi dengan sedikit bercak debu.
“Aduh, maaf kak.” Salah satunya mengucap maaf sambil menundukkan badan berkali-kali. Griselle menatapnya dengan mata menyipit, bukan karena ia sebal, tapi karena matahari sedang terik-teriknya.
“Iya, gak apa-apa.” Ia menjawab dengan singkat, lalu kembali melangkah sebelum lelaki itu memanggilnya lagi.
“Kak, i—itu...” Dia tergagap melihat Griselle yang menatapnya dingin.
“Apa?” tanya gadis itu. Oh ayolah, dia sudah ditunggu Bu Ratna!
“I—itu pipinya...ini dibersihin dulu, kak. Maaf ya kak,” ucap lelaki itu sambil menyerahkan sapu tangan berwarna hitam padanya, menundukkan badan sekali lagi, lalu berlari pergi.
Griselle menatap sapu tangan itu, lalu mengucapkan terima kasih dengan lirih sambil aksanya terpaku pada lelaki tadi. Gadis itu kembali melangkah sambil mengusap pipinya, sakit sekali kalau boleh jujur. Sesampainya di depan ruang TU—ia berdeham dahulu untuk menetralkan pikiran, setelahnya langsung saja menemui Bu Ratna.
“Selamat siang, Bu, maaf izin bertanya. Bu Ratna—“
“Oh Bu Ratna? Itu di dalem tuh.” Salah satu staf TU menjawab sebelum pertanyaan Griselle rampung.
“Mbak Griselle sebentar ya mbak, duduk dulu di situ.” Lagi, ia baru ingin bicara dan melangkah, Bu Ratna tiba-tiba datang dan memintanya menunggu. Ya mau bagaimana lagi, ia harus menurut ‘kan?
Griselle duduk di ruang tunggu. Gadis itu melihat sekitar hingga aksanya kembali mampir ke lapangan basket. Lelaki yang memberinya sapu tangan tadi, sedang tersenyum gembira karena berhasil mencetak gol. Griselle mendecih dalam hati, memang apa senangnya sih mencetak gol? Dia tidak suka mata pelajaran olahraga kecuali basket. Jadi, ketika ada pertandingan selain basket—ia biasa saja. Tidak terlalu antusias.
“Mbak Griselle? Oh—di sana. Sini, mbak!” Bu Ratna menyeru, membuat Griselle tersadar dan segera menghampiri beliau.
“Waktu itu di proposal kamu mengajukan dana untuk rekrutmen anggota baru sebesar Rp. 800.000 sekaligus banner ‘kan? Nah ini saya revisi, banner ikut dana BOP—nanti bilang ke Pak Yanto ‘ya? Nah untuk konsumsi pakai dana BOS yang saya serahkan ini.” Beliau menjelaskan dengan rinci, Griselle mengangguk saja sambil membaca revisi dari Bu Ratna.
“Berarti untuk seleksi anggota baru kan 4 hari ya mbak di proposal, ini dana untuk konsumsi panitia saja. Ruangannya di aula ‘kan? Saya pikir gak butuh buat dekorasi yang neko-neko ya soalnya ini ‘kan bukan acara besar.” Guru ekonomi yang juga menjabat sebagai bendahara sekolah itu melanjutkan penjelasannya.
“Oke terima kasih, Bu. Tapi sebelumnya, dari kita ‘kan panitianya 25 ‘ya, Bu. Terus kan acaranya 4 hari, kalo—“
“Iya saya tahu, mbak. Saya kan bilang kalo ini cuman acara kecil, jadi panitianya saya kurangi. Mohon diterima saja, ‘ya?” Griselle menghembuskan napas pasrah, lalu mengangguk dan berjalan lemas keluar ruang TU.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorai [✔]
Teen Fiction[R 15+] [COMPLETED] [●] Perayaan Patah Hati #2 ; Lee Jeno ft. Park Xiyeon local fanfic. Dalam lingkup kesendirian, Griselle Selenia mengaku jatuh cinta pada sekali pandang. Lelaki pendiam dan apa adanya itu, berhasil memikat hatinya yang bagai batu...