[12] I love you

114 33 2
                                    

“Siapa dia?” Suara halus yang biasa menyapa telinga Alterio, kini terganti oleh seruan dingin yang tak tersentuh oleh hangat mana pun.

Lelaki itu berdeham sedikit, lalu memalingkan wajahnya dan menggaruk tengkuk karena gugup. Gadis itu, kekasihnya, menunjukkan sebuah foto di ponsel—di mana ia sedang memeluk Griselle dengan sayang, seakan memeluk semesta. Alterio tidak mungkin mengelak, itu jelas-jelas dirinya.

“Aku tanya, siapa dia, Alterio?” tanyanya lagi, mari kita sebut Raina saja.

“Itu temanku,” jawab Alterio seadanya.

“Teman? Kamu pelukan sama teman di saat udah punya pacar?” Gadis itu bertanya penuh selidik.

“Dia lagi sedih, jadi aku peluk.” Lagi-lagi Alterio menjawab seadanya, tanpa tahu apa akibatnya bagi perasaan Raina

“Kalo aku sedih, kamu bahkan jarang ada buat aku. Kalo aku butuh, kamu bahkan gak langsung datang. Kalo aku kesepian, kamu malah main ke warnet.” Raina berucap sambil menunduk, menahan sesak dalam dadanya.

She is your friend, really? Just friend?” tanyanya, masih menunduk. Sedangkan Alterio hanya mengiyakan pelan. Ah iya, keduanya sedang berada di rumah Raina.

You love her, don’t you?” tanya si gadis lagi, kini sambil menatap dalam pada kekasihnya itu.

“Kamu lagi parodi film ‘Layangan Putus’?” Lihat, lelaki itu masih santai dan main-main.

“Jangan bercanda!” peringat si gadis, membuat si lelaki berdeham dan balik menatap Raina dengan sorot seriusnya.

Alterio menghela napas sejenak, menunduk, lalu kembali menatap kekasihnya dan memegang kedua bahu sempit gadis itu. Dengan sorot setenang air, ia menjawab, “yes, I do. I’m in love with her, then—let’s break up, Raina.”

Dan benteng tegap Raina, runtuh luruh bersama air mata di ujung pelupuk sana. “I hate you!” serunya.

Alterio segera memeluk raga rapuh di depannya itu, menepuk pelan punggungnya dan melayangkan kalimat, “Raina, the sunset looks beautiful, isn’t it?” Di mana kalimat tersebut, makin membuat Raina tersedu-sedu. Ia lalu kembali menyeru, “I hate you!”


×××


“Griselle sama Sarah, acak-acak sepatu terus bilang ke peserta buat ke lapangan, ditunggu 30 detik sama saya,” perintah Martha setelah rapat inti yang terakhir, di lapangan.

Kedua gadis yang mendapat perintah itu, segera mengangguk dan berlari ke ruang OSIS. Mereka mengacak sepatu yang sudah tertata rapi oleh para peserta LDK OSIS dan MPK angkatan yang baru. Setelahnya, Griselle masuk dan menyeru, “Ayo ke lapangan! Ditunggu Kak Martha 30 detik dari sekarang! Jangan lupa semua perlengkapan dibawa semua!”

Semua peserta yang mendengarnya langsung kalang-kabut, apalagi setelah melihat bagaimana keadaan sepatu mereka. Di samping itu, Griselle meminta salah satu panitia untuk membawa kardus dan mengumpulkan ponsel para peserta.

Griselle dan Sarah kembali ke lapangan, di mana Martha sedang menghukum peserta yang terlambat—berlari mengelilingi koridor sebelah lapangan dalam waktu 10 detik, lalu kembali berbaris dengan benar. Karena barisannya tak kunjung benar, hukuman itu terjadi secara berulang—mungkin 3 kali, sampai Sarah dan Griselle ingin tertawa saja.

Para inti OSIS sering bercanda dan main-main dengan adik kelasnya, mereka tak akan menduga hal seperti ini akan terjadi. Singkatnya, Martha mengecek perlengkapan yang mereka bawa. Ya, syukur sekali semuanya lengkap. Setelahnya, Ketua OSIS sekaligus Ketua Panitia itu memerintahkan agar mereka berjalan jongkok ke aula—di mana apel pembukaan, penyampaian materi, makan, dan apel penutupan dilaksanakan.

Sorai [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang