INDONESIA, 1882.
"Perempuan bodoh! Puas kowe, Nduk? Puas kowe mempermalukan Bapak? ANAK TIDAK BERGUNA!" Tamparan itu terdengar lagi. Tamparan itu seperti ultimatum, jauh lebih keras daripada tamparan-tamparan sebelumnya. Pipi Jengganis mati rasa, tak kuasa menahan perih dan panas akibat tamparan orang yang menyebut dirinya seorang Bapak.
"Bapak! Sampun, Pak. Anakku wis jangan dipukuli. Itu anakku, anakmu juga. Bapak betul tidak berhati. Bagaimana bisa Bapak melimpahkan segalanya kepada anakmu? Jika Jengganis ingin menolak perjodohan ini, maka biarkanlah," kata perempuan paruh baya yang daritadi hanya menonton. Berbeda dengan Jengganis yang hanya diam menerima semua rasa sakit, dia memilih untuk menangis dan memohon. Barangkali si Bapak mau memberi sedikit belas kasih.
"Dibiarkan bagaimana, Kemuning? Anakmu sudah mengacaukan segalanya! Aku gagal kaya gara-gara dia. Cuih, anak sialan," kata Raharja dengan tatapan jijik.
"Bapak, aku mohon. Pikirkanlah baik-baik. Tindakan Bapak kepada Jengganis adalah salah, Pak"
"HALAH! Apa peduliku? Pengacau ini benar-benar harus diberi pelajaran. Aku sampai bermimpi memeluk dan tidur di atas dipan koin emas. Hanya karena wanita bodoh ini, mimpiku hanya menjadi mimpi."
Perempuan dengan tubuh kurus itu berdiri tegak dari tubuhnya yang oleng akibat tamparan tadi. Entah kekuatan darimana, tubuhnya yang ringkih kian kukuh, pandangannya lurus kedepan mengisyaratkan tamparan yang ia terima beberapa saat yang lalu bukanlah sebuah ancaman, tamparan yang ia terima beberapa saat yang lalu hanyalah angin tak berarti.
"Raharja sudah!" pekik Kemuning saat tangan Raharja melayang hendak menampar kembali pipi mulus anak gadisnya. Ah, mungkin kini lebih tepat disebut dengan pipi ungu legam anak gadisnya.
"Kemuning, asal kau tau, wanita sepertimu dan Jengganis ini hanya akan menjadi beban. Bebanku! Lebih baik diberikan kepada orang lain, bikin penuh rumah saja." Raharja berkata dengan entengnya.
Di sana, tangan kecil Jengganis mengepal erat. Perasaannya bercampur aduk. Bapak mana yang tega mengatakan hal tersebut di depan anak gadis dan istrinya?
Raharja, bahkan iblis tak sejahat dirimu.
"Bagaimana Bapak bisa berkata demikian? Bapak sendiri lahir dari rahim seorang wanita. Bapak sendiri besar dan dirawat seorang wanita. Bapak sendiri tidak akan bisa menjadi seorang Bapak jika wanita yang Bapak panggil 'Ibu' Tidak melimpahkan kasih sayangnya pada Bapak. Mulut Bapak sungguh bukan seperti manusia." Jengganis yang sedari tadi memilih diam memutuskan untuk membuka suara. Suaranya pelan namun memberi kesan tegas disetiap kata-kata yang ia lontarkan. Keras kepala, persis seperti Raharja.
"Heh, Kolot! Tau apa kamu tentang Bapakmu? Melahirkan dan membesarkan anak adalah tugas wanita. Wanita ada hanya untuk mengandung dan melahirkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANJANU
Historical Fiction[ DITERBITKAN ] Jengganis Renalingga. Gadis pribumi yang tumbuh tanpa pendidikan yang cukup, berjalan tanpa alas kaki dan menahan lapar adalah keseharian yang ia jalani. Gadis yang pada akhirnya jatuh hati kepada Anjanu, laki-laki yang ia temui di p...