Lusa datang juga. Sastra masuk dengan kondisinya yang masih dipenuhi luka-luka. Tangannya tidak bisa ditekuk, juga tidak bisa banyak digerakkan. Tangannya Sastra membengkak besar sekali. Namun baju kedodoran menutupi semua bagian itu. Tertatih-tatih ia berjalan, tersenyum menyapa ketika berpapasan dengan jongos-jongos lain.
Pukul tujuh, jam sarapan telah tiba. Sastra merasa aneh. Piring yang ada di meja makan hanya Frederick, Marien, William, dan Kaetriel. Tempat Anjanu biasa duduk sengaja dikosongkan. Tidak ada piring, juga tidak ada sosok Anjanu yang duduk disana.
Sastra menghampiri salah satu jongos yang sedang menyajikan makanan.
"Dimana Sinyo Laksanaraja?" Sastra bertanya.
Jongos itu menarik Sastra ke pojok ruangan. "Apakah kamu tidak tau? Sinyo itu mendapatkan nilai buruk. Ia harus mengulang ujiannya. Ini yang ketiga. Jangan membahas Sinyo di depan Meneer. Ia akan marah."
"Sinyo dikurung untuk belajar mulai hari ini, kurasa Meneer frustasi," Salah satu jongos menjelaskan kepada Sastra."Meneer Frederick memintaku untuk menyiapkan makanan untuk Sinyo. Tolong antarkan ke kamarnya. Aku tidak berani mengetuk pintu itu," pinta salah satu jongos sebelum berlalu untuk mengambilkan nampan berisi piring dan segelas air putih.
Nampan itu di tangan Sastra sekarang. Sastra membawa nampan itu hanya dengan satu tangan karena satu tangan lainnya terluka begitu parah. Sastra membuka pintu Anjanu yang memang tidak tertutup dengan rapat.
Anjanu ada disana. Berkutat dengan potret-potret tokoh penting sejarah. Foto hitam putih itu seakan membuat kepala Anjanu meledak. Terlihat begitu membingungkan di matanya.Kehadiran Sastra tidak disadari Anjanu hingga Sastra meletakkan nampan berisi makan dan minum di laci sebelah ranjang Anjanu. Anjanu menoleh sekilas. "Pergilah."
"Baik, Sinyo." Sastra menuruti perkataan Anjanu tanpa memprotes. Di dalam lubuk hatinya, Sastra kebingungan. Tidak biasanya Anjanu berbicara dengannya dengan nada yang dingin.
Sastra kembali di jam makan siang, membawa nampan baru dengan isi makanan menu yang berbeda. Sastra mengambil nampan yang lama, dan menggantinya dengan yang baru. Makanan di piring Anjanu masih banyak menyisakan makanan. Bahkan, terlihat hanya berkurang dua sampai tiga sendok saja.
"Jangan makan terlalu sedikit, Sinyo." Sastra menasehati.
Anjanu mengacuhkan perkataan Sastra. Bahkan untuk menoleh saja terlihat enggan. Melihat hal itu, Sastra merasa aneh, juga memaklumi. Berprasangka baik adalah hal penting di saat seperti ini. Anggapan Sastra, Anjanu membutuhkan banyak ruang dan waktu untuk fokus pada hal yang ia kerjakan.Lagi, Sastra berlalu pergi.
Jam makan malam, Sastra kembali. Membawakan roti dan teh hangat untuk Anjanu. Lagi lagi Sastra melihat, makanan Anjanu hanya berkurang sedikit sekali. Kali ini terlihat tidak di sentuh sama sekali. Sastra mengambil nampan yang lama, menggantikan dengan nampan baru.
"Sinyo, makanlah barang sedikit. Tidak baik memaksakan diri terus menerus. Sinyo juga membutuhkan makanan." Sastra kembali menasehati.
Anjanu menoleh kali ini, menatap Sastra dengan tatapan yang tajam.
"Aku tidak membutuhkan nasehat pencuri." Nada bicara Anjanu terdengar sarkas. Lirih namun begitu menusuk. Sastra bisa merasakan semuanya. Kemarahan Anjanu meletup-letup, tapi disampaikan dengan perlahan.
"Sinyo, sahaya bukanlah pencuri. Sahaya-"
"Pergi dari sini. Dan jangan ganggu aku beberapa hari ke depan. Jangan berbicara denganku disela belajarku. Memandangmu saja aku muak." Kalimat itu adalah kalimat penutup percakapan Anjanu dan Sastra.
Sastra tidak melawan, lebih tepatnya takut memberikan tanggapan. Ia ingin menjelaskan di lain waktu.
Jika diberi kesempatan.
***
Sudah hari ke-tiga Anjanu belum juga keluar dari kamarnya. Frederick sengaja membuat Anjanu terus belajar. Agar Anjanu mendapatkan efek jera dari nilai buruknya.Dan sudah hari ke-tiga pula Sastra dan Anjanu tidak berbicara. Sastra hanya datang untuk mengantarkan makanan. Tidak ada obrolan di antara keduanya. Sama sekali.
Sarapan dan jam makan siang, Sastra bisa melihat Anjanu terlihat pucat dan lemas. Kantong matanya terlihat menghitam, menandakan sedikit sekali jam tidurnya. Rambutnya berantakan, juga baju yang tidak diganti sejak dua hari yang lalu. Anjanu terlihat begitu kacau.
Saat jam makan malam, Sastra membawa potongan buah dan teh jahe hangat tanpa gula. Anjanu terlihat tidur di meja belajarnya. Dengan pipi yang bertumpu pada meja. Terdapat tinta tumpah disana, menggenang di atas meja. Perlahan, tinta itu menyentuh pipi Anjanu. Juga potret-potret di depannya. Tinta itu dingin tentunya, namun tinta itu tidak membuat Anjanu terbangun.
Tangan Sastra mengguncang ringan bahu Anjanu, bermaksud untuk membangunkannya. "Sinyo, bukankah lebih baik pindah ke atas tempat tidur? Punggungmu akan terasa sakit jika tidur dengan posisi duduk."
Nihil, tidak ada jawaban dari Anjanu.
Sastra mengguncang bahu Anjanu dua kali lebih kencang. Tetap saja nihil. Anjanu bahkan tidak menunjukkan sedikit saja pergerakan. Semakin kencang Sastra mengguncang bahu Anjanu, semakin besar pula ketakutannya.
Pada akhirnya Sastra menyimpulkan. Bahwa Anjanu tidak sadarkan diri.
Sastra segera melaporkan hal ini pada Frederick. Dan Anjanu dirawat malam itu juga. Dokter berkata, Anjanu mengalami kelelahan dan dehidrasi.
________________
________________
KAMU SEDANG MEMBACA
ANJANU
Historical Fiction[ DITERBITKAN ] Jengganis Renalingga. Gadis pribumi yang tumbuh tanpa pendidikan yang cukup, berjalan tanpa alas kaki dan menahan lapar adalah keseharian yang ia jalani. Gadis yang pada akhirnya jatuh hati kepada Anjanu, laki-laki yang ia temui di p...