7. Selop Warna Cinta

3.7K 842 98
                                    

Gadis itu berjalan sedikit terseok-seok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gadis itu berjalan sedikit terseok-seok. Selop delima yang menjadi miliknya beberapa menit yang lalu melekat cantik di kedua kaki mungilnya. Semburat merah yang terpatri di kedua pipinya masih menetap angkuh, semburat merah itu enggan melenggang.

"Aku pasti sudah gila," monolognya.

Hari itu Jengganis memakai kebaya lusuh berwarna putih tulang, jarik bermotif batik yang ia lilitkan kurang rapih melingkar di pinggangnya. Ah, jangan melupakan tentang sobekan dari jarik batik itu. Sobekan-sobekan yang didapatkannya mulai dari gerak Jengganis saat bekerja hingga tikus nakal yang menggerogoti tanpa ampun.

Pakaian yang Jengganis kenakan sekarang sangat kontras dengan sandal selop delima itu. Sandal selop itu begitu cantik, berbeda dengan barang-barang Jengganis yang mayoritas berkondisi buruk dan kumuh.

Jengganis sedikit kesulitan dalam berjalan. Biar bagaimanapun, ia tidak bisa terbiasa begitu saja dengan sandal selop ini. Kesehariannya ditemani dengan bertelanjang kaki, sandal selop ini tiba-tiba menemani. Rasanya aneh sekali. Meskipun haknya hanya tiga senti, tetap saja terasa asing bagi kaki Jengganis yang jarang mengenal rasa nyaman dan kemewahan.

Belum sempat Jengganis menginjakkan kaki di kios Priyambada, lelaki dengan wajah garang itu sudah meneliti Jengganis dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Wah wah, jadi ini gadis dari timur yang tidak datang bekerja sedari pagi? Rupa-rupanya ia berubah menjadi istri saudagar kaya hanya dalam beberapa jam. Lihat apa yang sedang ia pakai di kakinya itu, Kemuning. Berwarna merah. Seperti warna cinta saja," goda Priyambada sembari tersenyum begitu menyebalkan.

Kemuning menoleh begitu mendengar perkataan  Priyambada. Diliriknya kaki Jengganis yang beralaskan sandal selop berwarna cinta yang dikatakan Priyambada beberapa saat yang lalu. Ukiran matahari berwarna emas nampak menyilaukan mata, mengisyaratkan sandal selop itu bukanlah sandal yang bisa dibeli oleh orang sepertinya.

"Jengganis, apa kau mencuri?" tuduh Kemuning.

"Ibu selalu saja menuduhku. Apa wajahku terlihat seperti pencuri?" Jengganis mendengus kesal.

"Hampir."

"Ibu!"

"Apa? Ibu hanya mengatakan yang sejujurnya."

Jengganis melengos karena dirinya kalah telak dengan Kemuning. Rasanya, Kemuning adalah jagoan dalam menghina dan mengejek dirinya. Yang kedua adalah Priyambada, lalu Anjanu. Anjanu seperti bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Kemuning, Ibunya.

"Jengganis tidak mencuri, Ibu. Ada yang memberikan sandal ini kepadaku secara cuma-cuma. Awalnya aku menolak, tapi dia memaksaku untuk menerimanya. Aku benar-benar tidak mencurinya. Aku tidak akan membuat nyawaku menjadi taruhan hanya demi sandal selop ini. Lebih baik aku mencuri makanan di rumah Tuan Priyambada, kalau ketahuan, mungkin aku hanya akan mendapat cubitan di lengan."

"Oh, jadi selama ini kamulah yang mencuri makanan di rumahku?"

"Hehe, aku pernah mencuri selembar ikan asin saat aku ikut pergi bersama Ibu ke rumahmu, Tuan Pri. Aku melihat ikan asin yang digantung di belakang rumah, aku mengambil satu. Tapi saat aku pulang, aku tersandung dan ikan asin itu jatuh. Belum sempat aku mengambilnya, ada kucing datang dan menjilati ikan tersebut," Jengganis menjelaskan.

ANJANUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang