"Mengapa, Bu?" Jengganis menumpahkan segalanya pada Kemuning. "Mengapa jadi seperti ini?" Jengganis belum berhenti menangis sejak dua jam yang lalu. Air matanya tidak keluar, hanya sisa-sisa air mata kering yang menghiasi mata dan pipinya. Suaranya serak, kali ini benar-benar habis.
"Sudah, Nduk. bertabahlah." Kemuning sudah mencoba segala cara untuk menenangkan anaknya. Kemuning mendekap Jengganis begitu erat. Kemuning juga menangis, menangis tanpa suara agar Jengganis tidak menyadarinya. Dielusnya bahu gadis itu.
"Ibu, aku mempercainya dari sekian banyak laki-laki. Aku mempercayainya bahwa dialah orang yang akan membuatku bahagia. Aku mempercainya. Aku percaya bahwa Anjanu adalah orang yang baik, Bu. Aku begitu mempercayainya." Jengganis mulai tersedu-sedu.
"Aku... begitu mempercayainya, Bu." Jengganis meratap, terus mengucapkan percaya berulang kali.
"Mengapa aku harus mempercayainya, Bu? Mengapa? Mengapa aku bertemu dengannya kala itu. Mengapa ia memberikan surat padaku dan aku setuju untuk menemuinya? Mengapa ia begitu baik, Bu? Mengapa ia menolongku? Mengapa ia, Bu? Mengapa? Katakanlah sesuatu, Bu."
"Mengapa kita harus menjalin cinta?"
"Mengapa kita harus menjalin cinta jika akan begini sakitnya?"
"Mengapa?"
"Mengapa harus seperti ini nasibnya, Bu? Aku begitu mempercayainya."
Kemuning tidak bisa membalas semua pertanyaan Jengganis. Meskipun diam, sesak di dadanya juga dirasakan Kemuning sama dalamnya. Sastra hidup dengannya sejak kecil. Sastra ada disana, saat Kemuning menangis saat memakan makanan sisa saat hamil Jengganis. Sastra ada disana saat Kemuning kesakitan saat melahirkan Jengganis. Sastra ada disana saat Kemuning kelelahan harus bekerja dan merawat Jengganis bersamaan.
Sastra ada disana, selalu di sampingnya. Sastra tidak pernah meninggalkan.
Begitu menyakitkan, apa yang terjadi adalah ironi.
Terjadi begitu saja, terjadi begitu tiba-tiba.
Kemuning mendengar ketukan pintu disela tangis Jengganis. Kemuning meminta izin untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka, Kemuning gemetaran.
Anjanu ada berdiri di depan pintu. Dengan hidung mengeluarkan darah. Anjanu mengalami mimisan. Ia merasa begitu pening, kepalanya berputar seakan dihantam gada berton-ton beratnya. Anjanu sama-sama terkejut. Sama-sama kecewa dengan dirinya.
"Jengganis, Nyonya, aku ingin menemui Jengganis." Anjanu berlutut di depan Kemuning. "Aku menyesal. Aku begitu menyesal."
"Pergilah, Nak. Pergilah dan bersamai rasa sesalmu." Kemuning mengatakan kalimat itu dengan nada yang rendah. Damai, namun begitu menusuk dalam satu waktu.
"Nyonya, biarkan aku menemuinya. Aku mohon." Darah pada hidung Anjanu terus mengucur selagi memohon.
"Jengganis tidak akan menemuimu, Nak. Usahamu akan menjadi sia-sia. Kamu membunuh apa yang berharga baginya. Disaat yang sama, kamu telah membunuh habis cintanya. Nak, tak ada yang tersisa." Kemuning mulai menitihkan air mata.
"Nak, kamu menghancurkannya. Menghancurkan cinta dan rasa percaya."
"Tidak, Nyonya. Berikanlah aku kesempatan untuk meminta maaf. kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Nyonya. Berikanlah aku kesempatan." Anjanu mengusap darah yang mulai berjatuhan ke mulutnya. Mengusap darah itu dengan kemeja putih bersih. Hingga kemeja itu kotor akan darahnya.
Anjanu tidak bisa menangis. Ia terlalu takut.
"Jangan pernah menampakkan wajahmu di depannya, Nak. Aku memohon dengan sangat." Kemuning kembali berbicara. "Kamu telah menghancurkannya."
"Nyonya, aku akan mati digrogoti rasa bersalah seumur hidupku. Tidak adanya Jengganis di sampingku akan merubah segalanya." Anjanu belum berhenti memohon.
"Hidupmu berjalan normal ada atau tiadanya Jengganis di sampingmu. Tidak ada yang berbeda jika kamu kembali pada hidupmu yang lalu." Kemuning hendak pergi, namun Anjanu menahan kaki Kemuning. Ia enggan melepasnya.
"Nyonya, bulan tidak akan bersinar jika tidak ada matahari yang membagikan sinarnya."
"Tanpanya, redup sudah." Anjanu berbicara dengan menahan sesak.
"Pulanglah, Anjanu." Kemuning menegaskan."Kamu telah menghancurkan segala cinta dan rasa percaya. Kamu tidak akan bisa memperbaikinya untuk kembali benar-benar utuh."
Kemuning menutup pintu rapat-rapat.________________
________________
KAMU SEDANG MEMBACA
ANJANU
Fiction Historique[ DITERBITKAN ] Jengganis Renalingga. Gadis pribumi yang tumbuh tanpa pendidikan yang cukup, berjalan tanpa alas kaki dan menahan lapar adalah keseharian yang ia jalani. Gadis yang pada akhirnya jatuh hati kepada Anjanu, laki-laki yang ia temui di p...