Kesepian itu nyata.
Ia benar adanya.𓆩♡𓆪
Hari ini William menemuiku dengan sisinya yang berbeda. Dia adalah bocah kurang ajar, tentu saja. Namun, hari ini dia berjalan padaku, datang padaku dengan menurunkan harga diri. Dia masih bajingan tengik, tentu saja. Namun, hari ini dia mengulurkan tangannya meminta bantuan. Dia kesepian.
William tidak seperti dirinya. Dia masih jelek seperti biasanya, tentu saja. Namun tampangnya tidak bengis. Anak itu berbicara padaku dengan nada yang bergetar. Ia hampir menangis. Walaupun hampir menangis, rupanya masih tidak selugu tokoh peri dalam dongeng Ibu, tentu saja.
Dia tokoh antagonis yang memiliki seribu kejahatan, tentu saja. Namun diantaranya terdapat satu kebaikan. Manakah yang harus aku percaya, Teman?
Dia berkata, aku jahat telah mencampakkannya. Padahal, Nyonya Marien lah yang meminta aku untuk tidak mendekati anaknya. Aku hanya seorang anak gundik. Aku tidak dihormati sepertinya.
Kamu mengerti, kan? Kamu turut menyaksikan. Nyonya Marien pernah menjambak rambutku. Sakit sekali. Hanya karena aku memberi William kue jojorong buatan Ibu. Aku melihat rambutku rontok di tangan Nyonya Marien. Nyonya Marien berkata makanan dari bekas tanganku beracun. William akan sakit jika memakannya.
Bukankah itu konyol, Teman?
Aku merasa bersalah saat William berkata bahwa dia kesepian. Aku pun merasa begitu. Kesepian memang begitu menyiksa. Aku pun merasakannya. Kamu menghilang tiba-tiba. Hanya karena pertengkaran kecil kita.
Disini ada Ibu, ada Kaet, juga Jengganis. Gadisku. Gadis yang selalu aku ceritakan padamu dalam suratku. Meskipun mereka semua di sisiku, tetap saja, aku membutuhkanmu, Temanku. Aku tetap kesepian.
Sejujurnya, aku menyesali perbuatanku waktu itu.
Ah, aku sudah mengatakannya ribuan kali. Aku mengatakan kalimat itu di setiap surat selama tiga tahun aku menulis. Itu karena aku benar-benar menyesalinya.
Hei, Teman. Aku sudah bercerita panjang hari ini. Aku tau kamu membacanya. Aku pun tau kamu tidak akan membalas, bahkan jika itu hanya satu kata.
Jika William berkata "Aku jahat. Kamu pun begitu. Dan kemudian, kita tetap sama." Mungkin aku memang pantas mendapatnya.
Anjanu, 1882.
Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang Anjanu tulis dalam satu kertas bersih mulus. Baru saja diambil dari pedagang Cina langganan Frederick. Tintanya mengering kemudian. Terlalu banyak Anjanu menulis dengan tulisan rapih tegak bersambung. Meniupnya cepat, berharap tinta itu segera meresap dan kering.
Anjanu melipat kertas sebanyak empat kali. Menyamakan tiap sisi, hingga rapih tak cacat. Surat itu hendak diletakkan di dalam kotak besar. Kayu jati dengan ukiran naga di tiap sisinya. Kotak yang di dalamnya dilapisi kain beludru merah menyala. Mewah sekali.
Banyak kertas bertumpuk di dalamnya. Beberapa kertas berjatuhan, kotak itu tak cukup besar untuk menampung semua surat-surat Anjanu. Melihat tiga hingga empat surat yang berjatuhan, Anjanu mengambilnya. Merapihkan surat itu ke tempat asalnya, kotak yang sebenarnya sudah cukup sempit untuk menampung semua kertas itu.
Surat yang baru saja Anjanu tulis, pun dimasukkannya. Kotak itu di tutup. Pada pojok kiri kotak, terdapat ukiran amatir, diukir oleh Anjanu sendiri.
"Untuk sahabatku, Antaripa."
________________
________________
Loh? Kok?
Hehehehehe, see you di chapter berikutnya, Sayangku!
Full of love, Finca.
ֹ ִֶָ ✿ ֯ ׅ ۬ ֪ ׄ✿ ֯ ׅ ۬ ֪ ׄ✿ ֯ ׅ ۬
KAMU SEDANG MEMBACA
ANJANU
Fiksi Sejarah[ DITERBITKAN ] Jengganis Renalingga. Gadis pribumi yang tumbuh tanpa pendidikan yang cukup, berjalan tanpa alas kaki dan menahan lapar adalah keseharian yang ia jalani. Gadis yang pada akhirnya jatuh hati kepada Anjanu, laki-laki yang ia temui di p...