26 Agustus 1883.
Pukul lima pagi, Jengganis ada di Pantai Anyer. Duduk di tempat pertama kali mereka bertemu dan berbincang. Sejenak, Jengganis membayangkan bagaimana jika ia dan Anjanu memiliki kisah yang bahagia, kisah yang berjalan mulus tanpa suatu hal apapun.
Jengganis menbayangkan, bagaimana jika dari awal Anjanu dan Jengganis sama-sama dari keluarga yang kaya, tidak akan ada kejadian dimana Sastra harus meregang nyawa untuk menafkahi Jengganis dan Kemuning.
Bagaimana jika dari awal mereka mengenal tidak dengan kejadian memilukan. Bagaimana jadinya jika mereka bertemu di taman bunga, jatuh cinta karena perbicangan menyenangkan. Tidak ada cerita dimana Anjanu jatuh cinta karena rasa kagum kekejaman yang diterima Jengganis.
Bagaimana jadinya jika Anjanu dan Jengganis merealisasikan Impian-impian mereka. Menjadi kekasih yang bertahan, menikah, memiliki dua atau tiga anak dengan nama lucu, juga mewarisi nama Anjanu. Tinggal di rumah kecil sederhana, memelihara beberapa ayam, dan memanen hasil kebun untuk dimasak. Tinggal di rumah kecil dengan kehangatan yang pasti.
Bagaimana, bagaimana, bagaimana. Jengganis membayangkan hal-hal baik, ia menginkan hal yang indah. Seperti alternatif 'bagaimana jika' dalam hidupnya.
"Maaf membuatmu menunggu."
Anjanu datang, duduk di samping Jengganis namun dengan jarak yang cukup jauh. Sesak menghampiri dada keduanya. Mengapa seperti ini jadinya? Mereka dekat namun terasa sangat jauh.
Asing."Tidak begitu lama," balas Jengganis.
Jengganis memperhatikan Anjanu dengan seksama.
Penampilannya bukan seperti Anjanu yang ia temui pertama kali. Anjanu yang berpakaian rapi, wajah yang bersih, tubuh sehat dan terawar. Tidak, kondisi Anjuanu sama sekali tidak terlihat seperti itu.
Tangan kanannya bengkak, mata yang memerah karena meningis, juga darah di hidung yang masih tersisa dan tak sepenuhnya mengering."Aku... membawakan apel untukmu." Anjanu mengambil apel dari tasnya. "Kali ini aku membawa dua. Kamu tidak perlu membaginya. Kamu bisa menikmati untuk dirimu sendiri."
Jengganis tersenyum. "Terimakasih."
Jengganis menatap apel itu beberapa saat. Apel berwarna merah. Pastilah manis rasanya. Bayangain tentang 'bagaimana jika' muncul kembali. Sesak di dadanya bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya.
"Jengganis, aku..." Anjanu memanggil dengan lirih. "Membawa satu surat."
"Anjanu. Berhentilah mengirim surat. Kasihani dirimu sendiri." Jengganis mengatakannya dengan cepat dan tegas.
Jengganis tidak tega melihat lengan Anjanu kaku tak bisa ditekuk, juga dengan jari-jarinya yang menghitam, membengkak berisi nanah. Dan menatap wajah itu, hanya akan menambah rasa sedihnya.
"Aku hanya ingin meminta maaf kepadamu, Jengganis."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANJANU
Historical Fiction[ DITERBITKAN ] Jengganis Renalingga. Gadis pribumi yang tumbuh tanpa pendidikan yang cukup, berjalan tanpa alas kaki dan menahan lapar adalah keseharian yang ia jalani. Gadis yang pada akhirnya jatuh hati kepada Anjanu, laki-laki yang ia temui di p...