Angin bertiup ke arah darat, menerpa rambut dan kulit Anjanu dengan sangat lembut. Anjanu memejamkan mata, seakan angin yang bertiup sedang membelainya. Jari kakinya basah tersapu ombak yang terlampau dingin. Pikirannya kalut, ia tak bisa tidur walau ingin.
Wajah pria itu pucat, tangannya gemetaran. Kuas dan tinta yang sejak tadi ia genggam tak kunjung ditorehkan di atas kertas. Jingga matahari terbit tak lagi mencuri perhatiannya. Usaha menghibur diri terlihat sia-sia. Anjanu mengerhela nafas. Pikirannya tak lagi bisa dialihkan.
Anjanu duduk di tepi Anyer, seperti hari-hari sebelumnya. Namun hari ini berbeda. Hari ini ia ingin menetap untuk waktu yang lama, bukan lagi satu atau dua jam, namun seharian. Kata "pulang" terdengar menyeramkan ditelinga Anjanu. Pasalnya, hari ini adalah hari pembagian nilai akhir. Hidup dan mati Anjanu ada pada nilai itu. Tuan Godewyn menuntut kesempurnaan. Dan jika nilainya memiliki setitik sisi cacat, habislah ia.
"Semakin lama, rasanya semakin berat saja. Tahun terakhirku terasa begitu menyiksa," monolognya.
Sesekali Anjanu menggigil. Bukan karena kemeja satin tipis yang ia pakai, bukan juga karena angin pantai yang bertiup tanpa lelah. Anjanu menggigil ketakutan. Membayangkan apa yang akan dilakukan Frederick jika nilai Anjanu tidak memenuhi standard Frederick yang memuncak terlalu tinggi. Anjanu ingin berlari ke pelukan Sang Ibu. Namun hal itu akan membuat Ayu Danarjati khawatir dan memperparah sakit yang ia alami. Anjanu memilih menyimpannya takutnya sendiri, memilih menyimpan sakitnya sendiri.
Kadang Anjanu berfikir, bukankah ia terlalu dini untuk ini?
Anjanu memasukkan kertas dan alat melukisnya ke dalam tas. Ia tak lagi memiliki hasrat untuk membuat sebuah lukisan. Helaan nafasnya begitu berat. Anjanu terlentang dan memaksa matanya untuk terpejam guna melupakan.
𓆩♡𓆪
"Tolong! Tolong ada pencuri! TUAN! TOLONG TUAN!" Suara teriakan itu begitu memekak telinga. Anjanu terbangun dari tidurnya dengan tergesa. Matanya belum sepenuhnya terbuka, nyawanya masih setengah terkumpul. Gelagapan ia terbangun, menengok ke kanan dan ke kiri dengan pandangannya yang masih kabur. Sempat Anjanu terhuyung dan hampir jatuh.
"A- ada pencuri? Dimana? Dimana pencuri itu?" tanya Anjanu dengan gagap sembari melihat sekeliling.
"Tidak ada pencuri," ucap wanita dengan kain menutup mata kirinya.
"Jengganis?" Anjanu menyadari siapa yang baru saja membangunkannya dari tidur lelap. Jengganis dengan pakaian dan penutup mata, Anjanu hafal dengan bagaimana cara Jengganis berpakaian, pun logat Jawanya yang berbeda dengan masyarakat Anyer.
"Hehe, kamu terlihat lucu saat gelagapan mencari pencuri." Jengganis berkata dengan enteng sebelum mengambil duduk di samping tas Anjanu yang sebelumnya dijadikan bantal tidur.
"Kamu... menyebalkan," Anjanu menggerutu karena kesal.
"Memang. Lalu kenapa?"
"Jengganis, aku sedang tidur. Aku baru saja tertidur, hanya beberapa menit. Lalu kamu membangunkanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANJANU
Historical Fiction[ DITERBITKAN ] Jengganis Renalingga. Gadis pribumi yang tumbuh tanpa pendidikan yang cukup, berjalan tanpa alas kaki dan menahan lapar adalah keseharian yang ia jalani. Gadis yang pada akhirnya jatuh hati kepada Anjanu, laki-laki yang ia temui di p...