21. Terkait Celah Patah Hati

534 78 6
                                    

1876, enam tahun sebelum pertemuan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1876, enam tahun sebelum pertemuan.

Sastra mengelap peluhnya yang hampir jatuh. Sudah hampir dua minggu perjalanan mereka menuju Banten. Sastra memilih Serang sebagai tujuan mereka. Surabaya bukan lagi tempat yang aman. Penduduk sekitar begitu membenci Raharja. Kebiasaan judi, mabuk, juga terkenal akan pengkhianatan yang begitu melekat, tidak bisa dihilangkan.

Bukan hanya Raharja, seluruh anggota keluarga terkena imbas atas kelakuannya. Dimulai dari rumah yang dilempari batu, sampai rumah habis dibakar massa. Surabaya benar tempat yang berbahaya bagi mereka. Sastra mengambil keputusan baik dengan pergi dari Surabaya diam-diam, dan memilih tempat yang begitu jauh kemudian. Ujung ke ujung pulau Jawa telah ditaklukkan.

Raharja masih bisa merasakan kesedihan yang masih tersisa, perpisahan dengan nenek tidak akan pernah mudah.

Rasa sedih Sastra berangsur menjadi rasa khawatir begitu kakinya berhasil menginjakkan kaki di Serang. Uang yang ia kantongi hanya bisa digunakan untuk menyewa rumah kecil untuk beberapa bulan. Mau tidak mau, bekerja menjadi pilihan. Sastra berkeliling ke pasar.

Mengetuk satu persatu pintu kios, berlutut meminta pekerjaan yang bisa ia lakukan demi menyambung hidup. Tak ada satupun dari kios membutuhkan dirinya. Kecuali satu orang.

Pemilik Kios Priyambada

Selama delapan bulan Sastra bekerja disana, bulan kesembilan Kemuning bergabung. Sedangkan Jengganis memilih bekerja di salah satu kedai serdadu terkenal kala itu. Dan Raharja, lazimnya dia. Raharja memilih untuk berkeliling Serang dengan sisa uang, mencari tempat berjudi, dan berjudi lagi.

Hampir setahun Sastra bekerja, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Upah dari Priyambada kecil. Tak cukup baginya untuk membeli rumah. Sastra menginginkan lebih. Maka dicarilah tempat-tempat yang dirasa memiliki upah kerja yang besar. Meskipun harus bekerja lebih keras, tak apa baginya.

Godewyn Huis.

Membutuhkan jongos kebun dengan upah lebih tinggi dari upah minimun yang diberikan oleh pengusaha lainnya di pekerjaan serupa. Sastra tahu betul bahwa Kemuning benar-benar melarang ia untuk bekerja dengan Londo. Karena para Londo biasa menganggap rendah yang bukan sesamanya. Perlakuan buruk sudah pasti. Kemuning tidak mau Sastra menyia-nyiakan diri hanya untuk uang.

Namun di sinilah Sastra berdiri, menyangkul dan menanam biji, memupuk dan menyirami pohon apel milik pengusaha Londo totok, Frederick Rudolph Godewyn. Dengan ambisinya yang luar biasa mengangkasa. Memaksa ada apel di rumahnya, melakukan segala cara agar apel-apel itu tumbuh dengan baik. Padahal Serang adalah dataran rendah yang tentu saja tidak baik untuk apel-apel itu.

Ajaibnya, apel-apel itu tumbuh dengan baik. Bentuknya kecil, tidak banyak memiliki air, namun manis rasanya.

"Anakku menyukainya. Tanam lebih banyak," ujar Frederick pada para Jongos kebun. Upah semakin ditambah jika Frederick menyukai hasil panen.

ANJANUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang