2. Matahari, Apel dan Dua Bagian

13.4K 2.5K 1K
                                    

Rindu yang telah menjamur resah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rindu yang telah menjamur resah. Kisah kasih masalalu yang ingin dirakit, kini hanya menjadi serpihan-serpihan cikal bakal rasa sakit. Anjanu G. Laksanaraja, untuknya segala alunan cinta, judul puisi dan baris-barisnya.

𓆩♡𓆪

Jengganis berjalan gontai menuju  pekarangan rumah. Rumah bak penjara tanpa jeruji, atau bahkan lebih tepat disebut dengan tempat eksekusi. Malas rasanya menyebut tempat ini rumah jika didalamnya, Jengganis hanya berakhir naas.

Jengganis menginginkan pagi yang abadi, tak terkalahkan oleh kelamnya malam. Kata Ibunya, Jengganis bagai lilin yang tak padam. Tapi entah mengapa, Jengganis merasa semua dipatahkan semesta.

Tak ingin hidup, mati tak sanggup.

"Jengganis!"

Kedatangan Jengganis disambut oleh isakan bahagia seorang Kemuning. Wanita yang tanpa takut menerobos tajamnya gerintik air hujan, menerjang riuhnya badai api. Ibunya, anugerah terindah untuk Jengganis.

Mendengar itu, secercah senyum muncul di wajah Jengganis. Wajahnya yang penuh luka tidak membatasi cahaya senyum Jengganis pada Kemuning. Jengganis lantas berlari, memeluk Ibunda begitu erat. Sesak dirasakannya, tapi semua itu tidak membuat Jengganis merenggangkan pelukan begitu saja.

"Ibu..." Jengganis mulai terisak kecil. Air mata yang tadi mengalir kini jatuh kembali. Kemuning tersenyum, dielusnya surai legam sang gadis. Rambut hitam sebahu yang dipotong asal dan sedikit kasar. Kemuning tau, rambut ini tidak dibasuh dengan air selama beberapa hari. Tidak terlalu bau, tapi rambut itu kumal dan sangat berantakan.

"Ibu, maafkan Jengganis. Jengganis begitu merepotkan," kata Jengganis yang masih setengah terisak.

Kemuning melepaskan pelukan mereka lalu tersenyum hangat. Diusapnya air mata Jengganis dengan lembut dan sangat hati-hati, takut sentuhannya akan membuat wajah Jengganis semakin remuk.

"Ibu senang Jengganis pergi tadi, jadi Jengganis tidak perlu menerima pukulan-pukulan Bapak lagi. Ibu hanya khawatir karena Jengganis tidak pulang-pulang. Tapi beruntungnya Jengganis pulang saat Bapak sudah pergi."

"Bapak pergi kemana?" tanya Jengganis penasaran.

"Bapak..." Kemuning menatap Jengganis. Kemuning takut menyelesaikan kalimatnya, takut jika Jengganis akan semakin membenci Bapaknya.

"Bapak berjudi lagi," lanjut Kemuning.

Jenggenis menghela nafas berat. "Lazimnya Bapak."

"Seandainya Mas Sastra masih di sampingku," lanjutnya.

Bagai diterpa angin tiba-tiba, Kemuning hampir tersedak. Ditatap sendu mata Jengganis yang masih berlinang air mata. Kemuning tau Jengganis sangat rindu. Kematian Sastra bertahun-tahun yang lalu masih meninggal luka yang pilu.

ANJANUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang