25. Dalam Jiwa yang Terpuruk

321 66 1
                                    

Empat hari sudah Jengganis ada di rumahnya, hidupnya kembali normal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Empat hari sudah Jengganis ada di rumahnya, hidupnya kembali normal. Tidak ada Anjanu, tidak ada pula matahari terbit pantai Anyer. Jengganis bangun pagi, mandi, dan pergi bekerja. Kulit kuning langsatnya kini semakin menggelap.

"Anjanu tetap tidak ada kabar?" Kemuning bertanya. Tangannya sibuk menata makanan di meja. Kulupan daun pepaya, sambal, dan teh hangat. Makan malam telah siap.

"Belum, Ibu. Aku semakin mengkhawatirkannya saja." Jengganis melahap sisa nasi tadi pagi ke dalam mulutnya, tentu saja bersama kulupan dan sambal. "Aku senang hari ini bisa makan nasi meski sedikit."

"Uang tersisa karena bapakmu tidak pulang beberapa hari ini. Sepertinya menang judi." Kemuning menyeruput teh hangat yang ada di depannya. "Aku berduka untuk Ayu Danarjati."

"Iya, Bu. Aku juga menyayangkannya. Melihat bagaimana Meneer Frederick dan Anjanu menangis membuatku teringat pada kematian Mas Sastra." Mata Jengganis mulai berkaca-kaca, hampir menitihkan air mata.

"Aku merindukan Mas Sastra, Bu." Jengganis mengusap air matanya.

"Nduk..."

"Jengganis tau, Ibu. Tidak boleh menangisi orang yang sudah lama meninggal. Jengganis hanya rindu Mas Sastra," potong Jengganis.

"Tapi Jengganis masih punya Ibu," ucap Kemuning.

"Tapi jika Mas Sastra disini, mungkin Mas Sastra akan membawa Ibu dan Jengganis pergi, Mas Sastra akan melindungi kita dari Bapak."

"Nduk, jika terus ditangisi. Mas Sastramu tidak akan tenang. Mas Sastra pasti juga mengharapkan kebahagiaanmu. Memang benar Mas Sastra tewas tidak dengan kematian yang pantas, tapi Mas Sastra adalah orang yang sangat baik. Pasti kedatangannya di sana disambut hangat oleh lembutnya tangan Tuhan. Sekarang kembali kepadamu. Ingin tetap bersedih atau melanjutkan hidup." kata Kemuning dengan suara lembut. Bagai suara violin yang mengiringi makan malam para bangsawan, kata demi kata yang Kemuning lontarkan sangat menenangkan. Senyum kembali bertengger apik di wajah Jengganis. Sangat cantik.

"Iya, Bu. Sama seperti Ibu Ayu. Tangan lembut Tuhan akan menyambutnya."

"Lalu bagaimana dengan sambutanku?" Raharja datang, masuk ke dalam rumah tanpa salam, tanpa permisi.

"Wah, sudah lama tidak berjumpa dengan anak gadisku ini. Kemana kamu selama ini, Nduk?" Raharja mendekat ke arah Jengganis, menjambak rambut pendek gadis itu.

"Bapak! Ini sakit!" Makanan belum sempat tertelan oleh Jengganis, namun ia harus bertahan dari serangan Raharja.

Bukannya memberi ampun, Raharja menguatkan jambakan itu. "Apa laki-laki kaya itu sudah membuangmu? Apa karena itu kamu pulang kemari, hah?"

"Bapak, jangan!" Kemuning menahan lengan Raharja saat Raharja hendak memukul Jengganis dengan tangannya yang lain.

Karena perhatian Raharja teralihkan, Jengganis bisa mengambil celah untuk memukul rahang Raharja dengan begitu keras. Begitu kerasnya hingga Raharja limbung ke tanah.

ANJANUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang