15. Buah Harta Sebenarnya

1.5K 259 86
                                    

Harta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Harta. Apalah artinya. Mereka saling makan. Saling bunuh.

Harta. Apalah artinya.

𓆩♡𓆪

Sebulan sudah sejak Ayu Danarjati menginjakkan kaki di rumah Godewyn. Hari-harinya berlalu begitu saja.

Angin bertiup kencang hari ini. Mendorong daun-daun hingga gugur bersahutan. Jingga mulai kentara. Jam kerja hampir usai. Penjaga gerbang, pelayan, hingga petugas dapur mulai berkemas. Membawa beberapa menu makan malam keluarga Godewyn yang masih tersisa baik di meja makan atau di dapur.

"Ayu Danarjati?"

"Iya, Nyonya?" Mendengar seseorang memanggilnya, Ayu Danarjati menoleh. Marien disana. Membawa makanan yang dibungkus erat dengan daun jati.

"Ini untukmu. Semua pelayan membawa makanan sebelum pulang. Aku harap kamu juga membawanya. Sudah satu bulan kamu bekerja disini, tapi tidak pernah aku melihat kamu mengambil sebutir pun nasi untuk dibawa pulang. Bawa ini. Gunakan untuk makan malam."

"Ah, terimakasih banyak, Nyonya. Tapi ini terlalu banyak untuk saya seorang." Ayu Danarjati menolak.

"Ini perintah. Bawa saja."

"Tapi, Nyonya... saya sebatang kara. Tidak punya sanak saudara. Tidak ada yang akan makan bersama saya nanti. Ada baiknya makanan ini dibawa oleh Suti atau pegawai yang lain."

"Aku bilang bawa saja."

Ayu Danarjati hanya mengangguk dan berterimakasih pada Marien.

"SIAPA YANG MEMBERSIHKAN MEJA TADI?!" Belum lima langkah Ayu Danarjati berjalan, terdengar teriakan Marien dari meja makan. Suara itu menggema jelas, mungkin penjaga yang berada di gerbang depan pun akan mendengar teriakan Marien.

Dari pintu dapur, Suti berjalan dengan langkah yang sangat hati-hati. Tangannya menggengam erat karena gugup.

"S- saya, Nyonya." ujar Suti dengan suara lirih.

"Lihat, masih ada debu, Suti. Lihat tidak?!" Bentak Marien pada Suti dengan menunjukkan jari telunjuknya yang terkena debu meja. Hanya sedikit, hampir tidak terlihat. Namun setitik debu itu berhasil menyulut amarah Marien. Suti menunduk kaku, bahkan untuk melihat wajah Marien saja Suti tak mampu.

"Maafkan saya, Nyonya.

Suti menangis. Dimarahi habis-habisan karena setitik debu meja yang luput dari penglihatannya. Bukan kali pertama Suti menjadi sasak tinju amarah Marien karena masalah kecil. Bisa dihitung dalam seminggu, Marien rutin memarahi Suti hingga empat kali karena pekerjaan Suti yang kurang teliti. Sebenarnya bukan masalah yang besar, tapi begitu lah Marien.

Sepanjang jalan pulang, Suti terus menangis. Bukan hanya karena takut, tapi juga karena kesal. Suti peduli akan penampilannya, namun hari ini Suti membiarkan dirinya terlihat kacau balau. Wajah sembab, kaki yang terseok tanpa alas. Suti hanya terus menangis dan menangis.

ANJANUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang