Six | In the Next Life

258 83 35
                                    

Paradis, Tahun 857
.
.
.

Mikasa tidak bekerja hari ini. Dia mengambil cuti sesuai dengan surat permohonan yang telah dia kirimkan sehari sebelumnya.

Mikasa sangat jarang melakukan cuti. Dalam setahun, dia hanya mengambil satu hari cuti, yakni pada hari kematian orangtuanya.

Dan ya, hari ini adalah hari tersebut.

Jujur saja, ini bukan hari yang menyenangkan bagi Mikasa. Dan tentunya, Mikasa yakin semua orang pasti merasa kalau hari kematian orang tua mereka bukanlah hal yang menyenangkan. Apalagi bagi Mikasa yang kehilangan kedua orangtuanya sekaligus tanpa dia tahu bagaimana persisnya mereka meninggal.

Mikasa baru mengetahui kalau mereka berdua meninggal setelah seorang dari Polisi Militer, yang sekarang merupakan ketua dari organisasi tersebut mengatakan kepadanya bahwa orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan dalam perjalanan pulang dari Wall Rose.

Dan setelah itu Mikasa kecil waktu itu dibawa untuk melihat jenazah kedua orangtuanya.

Walaupun terkadang ada rasa penasaran yang menyelimuti Mikasa mengenai kematian orangtuanya, namun ia sama sekali tidak mecoba untuk mengulik apapun tentang kematian mereka. Bahkan ketika ia telah menjadi bagian dari kemiliteran Paradis.

Mikasa berpendapat bahwa tidak ada gunanya dia mengetahui hal itu.

Karena Mikasa berpendapat bahwa daripada menyimpan dendam maka akan lebih baik bagi dirinya untuk tidak tahu sama sekali. Sebab, jika ia menemukan sesuatu yang janggal dalam kematian mereka, Mikasa tidak mungkin akan tinggal diam.

Seperti seseorang yang menyimpan amarah yang dalam. Jika Mikasa memiliki amarah seperti itu, Mikasa akan kesulitan untuk menyudahinya.

Seperti perasaannya kepada mantan kekasihnya.

Garis antara cinta dan benci itu benar-benar tipis. Karena terlalu mencintainya, Mikasa yang dikhianati pun menjadi sangat membencinya. Atau juga tidak, sebab hingga sekarang dia tetap tidak bisa melupakannya.

Yah, begitulah.

Masalah perasaan terkadang begitu rumit. Sangat sulit untuk dibuat menjadi lebih sederhana.

Baiklah, lupakan dulu tentang perasaan.

Setidaknya untuk hari ini saja, Mikasa tidak ingin memikirkan tentang masalah perasaannya.

Di depan dua nisan yang berdampingan, Mikasa berdiri setelah meletakan Bunga Lili disetiap nisan. Pakaian yang Mikasa kenakan serba hitam dengan rok selutut yang sangat jarang ia gunakan.

“Ayah, Ibu, bagaimana kabar kalian?” tanya Mikasa. “Aku rindu kalian. Maaf karena aku jarang mengunjungi kalian. Semoga kalian tidak marah kepadaku,” lanjutnya dengan suara yang lirih.

Mikasa tersenyum kecil yang lebih mirip seperti seringaian.

Setengah menertawakan dirinya sendiri yang mengharapkan untuk mendengar sebuah jawaban seperti ‘tidak apa-apa. Kami sama sekali tidak marah padamu. Kami juga sangat merindukanmu.’

Atau semacamnya yang mirip-mirip.

Padahal dia sadar bahwa dia tidak akan mendapat jawaban seperti itu.

Dan lagi, kalau dia mendengar orang yang telah mati untuk berbicara kembali, bukankah itu merupakan hal yang mengerikan?

Pelan dan lambat. Mikasa dapat merasakan bulu kuduknya yang merinding karena memikirkan hal tak lazim seperti tadi.

“Aku pergi dulu ya. Tahun depan aku akan mengunjungi kalian lagi,” pamit Mikasa.

Dia segera menyudahi kunjungan makamnya.

Who are You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang